Kehidupan Rasulullah Bagaikan Kitab Terbuka
Kehidupan Pendiri Agung Agama Islam adalah bagaikan
kitab terbuka yang pada tiap-tiap bagiannya kita menjumpai penjelasan dan perincian
yang sangat menarik. Tidak ada Guru atau Nabi lain yang kehidupannya direkam
begitu lengkapnya dan yang karenanya begitu mudah dipelajari seperti kehidupan
Rasulullah s.a.w.. Memang banyaknya fakta-fakta yang tercatat itu telah membuka
kesempatan untuk celaan-celaan jahat. Tetapi, menjadi kenyataan pula bahwa sesudah
celaan-celaan itu diselidiki dan dibuktikan kekeliruannya, kepercayaan dan
kecintaan, sebagai akibat dan hasilnya, tidak mungkin ditimbulkan oleh
kehidupan siapa pun. Kehidupan-kehidupan yang gelap dan samar bebas dari celaan,
tetapi semuanya gagal menimbulkan keyakinan dan kepercayaan dalam diri para
pengikutnya. Beberapa kekecewaan dan kesukaran pasti tetap ada. Tetapi
kehidupan yang begitu banyak diriwayatkan dengan sangat terinci seperti
kehidupan Rasulullah s.a.w. memaksa kita merenung dan akhirnya timbul
keyakinan; setelah celaan-celaan dan tuduhan-tuduhan palsu dilenyapkan,
kehidupan yang demikian itu membangkitkan cinta kita yang penuh dan kekal. Tetapi,
hendaknya menjadi jelas bahwa riwayat hidup yang demikian terbuka dan kayanya
itu tidak mungkin diceritakan dengan singkat. Yang dapat diusahakan hanya
sekelumit belaka. Tetapi pandangan sekejap mata pun tetap sangat berharga.
Seperti kami katakan tadi, sebuah Kitab Wahyu hanya sedikit memberi daya tarik
kecuali jika mempelajarinya itu dilengkapi dengan pengetahuan tentang Guru si pembawanya.
Pokok ini telah diabaikan oleh kebanyakan agama. Agama Hindu, umpamanya,
menjunjung tinggi Weda, tetapi tentang risyi-risyi yang menerima Weda dari
Tuhan, kita tidak dapat menceriterakan apa-apa.
Keperluan melengkapi suatu ajaran agama dengan riwayat
hidup pembawanya agaknya tidak dirasakan penting oleh tokoh-tokoh Hindu. Ulama-ulama
Yahudi dan Kristen, pada lain pihak, tidak ragu-ragu memburuk-burukkan
nabi-nabi mereka sendiri. Mereka lupa bahwa wahyu yang telah gagal dalam
memperbaiki nama baik siapa yang menerimanya, tidak banyak lagi gunanya untuk
orang-orang lain. Jika penerima wahyu sukar diketahui, maka timbullah
pertanyaan, mengapa Tuhan telah memilih dia?
Haruskah Dia berbuat demikian? Tak ada persangkaan yang nampaknya cocok.
Mengira bahwa wahyu itu tidak dapat memperbaiki nama baik mereka yang
menerimanya, sama tidak masuk akal seperti persangkaan bahwa Tuhan tak punya
pilihan lagi kecuali memilih penerima wahyu yang tak punya kemampuan untuk menerima
sebagian wahyu-wahyu-Nya. Walaupun demikian, pikiran dan persangkaan semacam
itu telah menyelinap ke dalam berbagai agama, barangkali karena jarak waktu
yang memisahkan mereka dari para Pendirinya atau karena kecerdasan otak manusia
sampai diturunkannya Islam tidak sanggup
mengetahui kesesatan pikiran semacam itu.
Betapa pentingnya dan berharganya soal menghubungkan
sebuah Kitab Suci dengan Guru yang membawanya, sudah disadari sangat dini dalam
Islam. Salah seorang dari istri-istri Rasulullah s.a.w. ialah Aisyah, yang masih
muda sekali. Usia beliau kira-kira13-14 tahun ketika beliau dinikahkan kepada
Rasulullah s.a.w. Kira-kira delapan tahun beliau hidup dalam ikatan nikah
dengan Rasulullah s.a.w.. Ketika Rasulullah s.a.w. wafat, usia istri beliau
baru 22 tahun. Beliau masih muda dan buta huruf. Walaupun demikian, beliau tahu
benar bahwa suatu ajaran tak dapat dipisahkan dari Guru yang membawanya. Ketika
beliau ditanya tentang akhlak dan kepribadian Rasulullah s.a.w., beliau menjawab
segera bahwa akhlak Rasulullah s.a.w. adalah Al-Qur’an (Abu Daud). Apa yang
diamalkan Rasulullah s.a.w. adalah apa yang diajarkan oleh Al-Qur’an. Pula apa
yang diajarkan oleh Al-Qur’an adalah tak lain selain apa yang diamalkan beliau.
Telah menambah kecemerlangan Rasulullah s.a.w. bahwa seorang wanita muda yang
buta huruf sanggup menangkap suatu kebenaran yang tidak tertangkap oleh
sarjana-sarjana Hindu, Yahudi, dan Kristen. Siti Aisyah r.a. melukiskan suatu
kebenaran yang luhur dan penting itu dalam kalimat yang pendek dan sederhana;
seorang Guru yang benar dan jujur tidak mungkin mengajarkan sesuatu tetapi melakukan
lain lagi, atau mengerjakan sesuatu tetapi mengajarkan lain lagi. Rasulullah
s.a.w. adalah Guru yang benar dan jujur. ltulah yang sesungguhnya ingin
dikatakan Siti Aisyah r.a.. Rasulullah s.a.w. melakukan apa yang diajarkan, dan
beliau mengajarkan apa yang dilakukan. Untuk mengetahui beliau, kita harus
mengetahui Al-Qur’an dan untuk mengenal Al-Qur’an kita harus mengenal pula
Rasulullah s.a.w..
Arabia Saat Rasulullah Lahir
Rasulullah dilahirkan di Mekkah dalam bulan Agustus
570 Masehi (Atau menurut penyelidikan mutakhir, Rasulullah lahir dalam bulan
April 571). Nama yang diberikan kepada beliau adalah Muhammad yang berarti, Yang
Terpuji. Untuk mengenal kehidupan dan watak beliau, kita harus mengetahui
keadaan yang berlaku di Arabia pada waktu beliau dilahirkan. Ketika beliau
lahir, seluruh Arabia, dengan sedikit kekecualian di sana-sini, menganut bentuk
agama musyrik atau bertuhan banyak. Bangsa Arab itu mengaku keturunan
Nabi Ibrahim a.s.. Mereka tahu benar bahwa Nabi Ibrahim a.s. itu Guru agama
yang berpegang pada Tauhid. Walaupun demikian, mereka tetap berpegang
pada polytheisme dan melakukan perbuatan-perbuatan musyrik. Sebagai
pembelaan diri, mereka mengatakan bahwa beberapa manusia sangat menonjol perhubungannya
dengan Tuhan. Syafaat (intersesi) mereka bagi orang lain diterima Tuhan.
Tuhan adalah Wujud Yang Maha Luhur lagi Maha Agung. Bagi orang-orang kebanyakan
sukar dapat sampai kepada Tuhan. Hanya manusia sempurna dapat berhubungan
langsung dengan Tuhan. Oleh karena itu, orang-orang biasa harus mempunyai orang
lain untuk menjadi perantara bagi kepentingan mereka sebelum mereka dapat meraih sendiri perhubungan langsung dengan Tuhan, dan
menarik keridhaan dan pertolongan-Nya. Dengan pendirian demikian mereka berhasil
memadukan rasa takzim kepada Nabi Ibrahim a.s. dengan ide kemusyrikan
mereka. Mereka mengatakan bahwa Nabi Ibrahim a.s. itu seorang orang suci lagi
mulia. Beliau dapat mencapai perhubungan dengan Tuhan tanpa perantara. Tetapi
orang-orang Mekkah kebanyakan tidak mungkin mencapai Tuhan tanpa perantaraan
orang-orang suci dan saleh. Untuk mencari dan mendapatkan perantaraan ini, kaum
Mekkah telah membuat patung beberapa orang suci dan saleh; mereka menyembah
patung-patung itu dan kepada serta lewat patung-patung itu mereka menyampaikan
kebaktian untuk meraih ridha Ilahi. Pendirian demikian itu primitif lagi
tidak masuk akal, selain itu penuh dengan cacat dan kelemahan. Tetapi, kaum
Mekkah tidak menaruh rasa khawatir akan hal-hal itu. Sejak lama sekali mereka
tidak dikunjungi Guru yang berpegang pada prinsip Tauhid Ilahi. Dan,
sekali kemusyrikan menyelinap dan berakar dalam suatu masyarakat, maka
menyebarlah kepercayaan itu tanpa mengenal batas dan tepi. Jumlah berhala mulai
meningkat banyaknya. Pada saat kelahiran Rasulullah s.a.w., di dalam Ka'bah — rumah peribadatan yang didirikan oleh Nabi
Ibrahim a.s. — konon ada sejumlah 360 buah berhala. Agaknya kaum Mekkah mempunyai
sebuah berhala untuk tiap-tiap hari tahun Qomariah. Di tempat-tempat
lain dan pusat-pusat lain terdapat berhala lain sehingga kita dapat mengatakan
bahwa tiap-tiap daerah bagian Arabia telah tenggelam di dalam kemusyrikan.
Bangsa Arab sangat gemar akan ragam budaya berpidato. Perhatian mereka sangat
besar terhadap bahasa lisan dan amat bergairah untuk menggalakkannya. Namun,
mereka sedikit saja mempunyai hasrat maju
dalam bidang ilmu. llmu sejarah, ilmu bumi, matematika, dan sebagainya sama
sekali tidak mereka kenal. Namun demikian, karena mereka merupakan penghuni
padang pasir dan karena terpaksa harus mampu mengetahui jalan di padang pasir,
tanpa bantuan tanda-tanda, mereka mengembangkan perhatian besar kepada ilmu
falak (astronomi). Di seluruh negeri Arab tidak terdapat sebuah sekolah pun waktu
itu. Konon, di Mekkah hanya terdapat satu-dua orang yang pandai baca tulis.
Dilihat dari segi akhlak, bangsa Arab merupakan kaum
yang memiliki watak yang berlawanan. Mereka menderita cacat akhlak yang luar
biasa, namun di samping itu mereka memiliki sifat-sifat yang terpuji. Mereka
itu pemabuk-pemabuk berat. Untuk mereka mabuk-mabuk dan kehilangan kesadaran
karena mabuk itu suatu perbuatan terpuji, bukan dosa. Anggapan mereka mengenai
orang yang sopan ialah orang yang sering mengundang kawan-kawan dan tetangga
pada perjamuan lomba minum arak. Tiap-tiap hartawan hendaknya mengadakan
perjamuan minum arak lima kali sehari. Perjudian juga merupakan kegemaran
mereka dan mereka telah menjadikannya suatu olah seni. Mereka tidak berjudi
untuk menjadi kaya. Pemenangpemenang diharapkan menjamu kawan-kawan. Dalam
waktu peperangan, dana-dana dihimpun lewat
perjudian. Sekarang pun terdapat penyelenggaraan-penyelenggaraan
lotre untuk mengumpulkan dana guna peperangan.
Organisasi-organisasi itu telah dijelmakan di zaman kita ini oleh bangsa-bangsa
Eropa dan Amerika. Tetapi, mereka hendaknya menyadari bahwa dalam hal-hal itu
mereka hanya meniru-niru bangsa Arab. Jika peperangan meletus, suku-suku Arab
berkumpul dan menyelenggarakan pesta perjudian. Siapa senang dan mendapat keuntungan,
dialah yang harus menanggung bagian terbesar biaya perang. Kemewahan-kemewahan
hidup beradab tidak dikenal oleh orang-orang
Arab. Mereka cukup mendapatkan kepuasan dalam minum-minum dan berjudi. Kesibukan mereka yang utama adalah
perdagangan dan untuk itu mereka mengirimkan kafilah-kafilah mereka sampai ke tempat-tempat
yang jauh-jauh. Dengan cara demikian mereka berniaga dengan Abessinia, Siria,
dan Palestina. Mereka mempunyai pula hubungan perdagangan dengan India.
Hartawan-hartawan mereka sangat menggemari pedang-pedang buatan India.
Keperluan bahan pakaian mereka terutama dipenuhi oleh negeri-negeri Yaman dan
Siria. Pusatpusat perdagangan terletak di kota-kota. Bangsa Arab lainnya,
kecuali Yaman dan beberapa daerah bagian utara, terdiri atas orang-orang Badui.
Tak ada pemukiman-pemukiman yang tetap dan tidak ada
tempat-tempat permanen yang berpenduduk. Berbagai suku bangsa telah
membagi-bagi negeri di antara mereka sehingga anggota-anggota suku dengan bebas
dapat bergerak di daerah bagian mereka. Jika persediaan air di suatu tempat
habis, mereka bergerak ke tempat lain dan untuk sementara menetap di situ.
Kekayaan mereka terdiri dari domba, kambing, dan unta. Dari bulu-bulu mereka
membuat pakaian, dan dari kulit dibuat kemah-kemah. Selebihnya dijual-belikan
di pasar. Emas dan perak tidak asing bagi mereka, tetapi tentu saja merupakan
milik yang sangat langka. Orang miskin dan rakyat jelata membuat perhiasan dan
mata uang dari kulit kerang dan
bahan-bahan yang harum. Biji semangka dibersihkan, dikeringkan dan dirangkaikan
menjadi kalung. Kejahatan dan perbuatan asusila yang bermacam-macam coraknya
merajalela. Pencurian jarang terjadi, tetapi perampokan adalah hal yang lazim.
Menyerang dan saling merampas dipandang hak turun-temurun. Tetapi, di samping
itu, mereka sangat setia pada janji; di dalam segi ini mereka lebih dari pada
bangsa lain. Jika seseorang pergi mendapatkan seorang pemimpin atau suatu suku
yang berkuasa dan minta perlindungan, maka pemimpin atau suku itu merasa
berkewajiban melindungi orang itu. Jika hal itu tidak diberikan, kehormatan
suku itu jatuh di mata seluruh Arab. Ahli syair mendapat pengaruh dan
penghargaan yang besar. Mereka dimuliakan bagaikan pemimpin-pemimpin bangsa.
Pemimpin-pemimpin diharapkan mempunyai kesanggupan besar berpidato, bahkan pula
mampu menggubah syair-syair. Keramahan terhadap tamu
dipandang sebagai sifat kemuliaan bangsa. Seorang musafir yang tersesat
diterima sebagai tamu terhormat oleh suatu suku. Ternak terbaik akan disembelih
untuk menjamunya dan penghormatan sebaik-baiknya diperlihatkan. Mereka tidak
menghiraukan siapa yang datang berkunjung. Untuk mereka cukup bahwa ada tamu
datang. Kunjungan itu dipandang sebagai sesuatu yang menambah nilai kedudukan
dan wibawa suku. Maka menjadi kewajiban suku itu untuk memuliakan tamu.
Penghormatan terhadapnya berarti menghormati diri sendiri. Wanita tak mempunyai
kedudukan dan hak dalam masyarakat Arab ini. Di antara mereka ada yang
beranggapan bahwa membunuh anak perempuan adalah perbuatan yang terhormat. Tetapi,
tidak benar kalau menyangka bahwa pembunuhan anak perempuan itu dilakukan besar-besaran. Kebiasaan yang
sangat berbahaya itu tak mungkin berkembang di seluruh negeri. Hal semacam itu
berarti lenyapnya bangsa. Hal yang benar ialah, di Arabia atau demikian pula di
India atau negeri lain tempat pembunuhan anak pernah dilakukan, kebiasaan itu
hanya terbatas pada beberapa keluarga. Keluarga-keluarga Arab yang melakukan
hal itu mempunyai anggapan yang berlebih-lebihan tentang kedudukan mereka dalam
masyarakat atau terpaksa oleh dorongan-dorongan lain. Mungkin mereka tidak
dapat menemukan calon menantu yang pantas untuk anak-anak perempuan mereka; dengan kesadaran itu mereka membunuh bayi-bayi
perempuan mereka. Kejahatan pranata (adat) ini terletak pada kebiadabannya dan kebuasannya,
bukan dalam akibat yang diderita oleh penduduk negeri. Macam-macam cara
dilakukan guna pembunuhan bayi perempuan itu, diantaranya mengubur hidup-hidup
atau dengan jalan mencekik. Hanya ibu kandung yang dipandang sebagai ibu di
dalam masyarakat Arab. Ibu tiri tidak dipandang sebagai ibu dan tidak ada peraturan yang melarang seorang anak laki-laki
mengawini ibu tirinya setelah bapaknya meninggal. Beristrikan banyak adalah
suatu kelaziman dan tidak ada batas jumlah istri yang boleh dikawin oleh
seorang laki-laki. Lebih dari satu saudara sekandung boleh dikawin oleh seorang
laki-laki pada waktu yang sama.
Perlakuan yang paling buruk dilakukan oleh satu pihak
terhadap yang lain, dan sebaliknya, dalam peperangan. Jika kebencian
meluapluap, mereka tidak ragu-ragu membelah badan prajurit-prajurit yang terluka,
mengambil suatu bagian dan memakannya sebagai cara yang buas memakan daging
sesama manusia. Mereka tidak segan-segan mencincang badan musuh. Memotong
hidung atau telinga atau mencukil mata adalah cara-cara aniaya dan keganasan
yang biasa mereka lakukan. Perbudakan begitu meluas. Suku-suku lemah dijadikan
budak. Seorang budak tak mempunyai hak,
tiap tuan berbuat sesuka hatinya terhadap budak-budaknya. Tidak ada tindakan
dapat diambil terhadap tuan yang menganiaya budaknya. Seorang tuan dapat
membunuh budaknya tanpa dituntut pertanggung-jawaban. Jika seorang tuan
membunuh budak orang lain, hukumannya bukan hukuman mati. Apa yang diwajibkan kepadanya
hanya berupa penggantian kerugian yang layak kepada pihak tuannya yang
dirugikan. Budak wanita dipakai untuk pemuasan seksual. Anak yang lahir dari
perhubungan demikian diperlakukan sebagai budak. Budak wanita yang sudah
menjadi ibu, tetap menjadi budak. Dalam bidang kebudayaan dan peradaban, bangsa
Arab merupakan kaum yang sangat terbelakang. Belas kasih dan tenggang rasa
terhadap satu sama lain tidak mereka
ketahui. Wanita merupakan bagian masyarakat yang paling buruk kedudukannya.
Tetapi, di samping sifat-sifat buruk itu, bangsa Arab memiliki sifat terpuji
juga. Keberanian, umpamanya, kadangkala mencapai peringkat mutu yang sangat
tinggi. Di dalam kaum demikianlah Rasulullah s.a.w. dilahirkan. Ayahnya bernama
Abdullah, meninggal sebelum Rasulullah s.a.w. lahir.
Maka beliau dan ibunya, Aminah, dipelihara oleh
kakeknya yang bernama Abdul Mu’talib. Bayi Muhammad disusui oleh wanita kampung
yang tinggal dekat Ta'if. Menyerahkan bayi kepada orang kampung untuk disusui,
kemudian memeliharanya, mengajar bicara, dan menanam kebiasaan berlatih untuk
menjaga kesehatan badan, merupakan kebiasaan pada zaman itu. Pada usia Muhammad
enam tahun, ibunda wafat dalam perjalanan dari Medinah ke Mekkah, dan harus
dikebumikan di perjalanan. Anak itu dibawa ke Mekkah oleh seorang khadimah,
lalu menyerahkannya kepada kakeknya. Ketika berumur delapan tahun, kakek pun
meninggal. Maka paman beliau yang bemama Abu Thalib menjadi pemeliharanya
sebagai amanat terakhir kakeknya. Rasulullah s.a.w. dua-tiga kali mendapat kesempatan mengadakan
perjalanan keluar Arabia. Di antaranya, beliau pada usia dua belas tahun ikut
serta dengan Abu Thalib, pergi ke Siria. Agaknya, perjalanan ini hanya sejauh
kotakota sebelah Tenggara Siria (Suriah), sebab dalam catatan sejarah perjalanan
itu tidak disebut nama-nama tempat seperti kota Yerusalem. Mulai saat itu
sampai tumbuh dewasa beliau tetap tinggal di Mekkah. Dari masa kanak-kanak
beliau biasa bertafakkur dan berkhalwat. Dalam pertengkaran dan
permusuhan antar orang-orang lain beliau tak pernah ikut campur, kecuali dengan
tujuan mendamaikan mereka. Diriwayatkan bahwa suku-suku Mekkah dan sekitarnya,
karena jemu mengalami
pertumpahan darah yang berlarut-larut, mengambil
keputusan untuk mendirikan suatu perkumpulan dengan tujuan memberikan
pertolongan dan perlindungan kepada korban perlakuan aniaya dan tidak adil.
Ketika Rasulullah s.a.w. mendengar adanya usaha itu, segera beliau dengan gembira
menggabungkan diri. Anggota perkumpulan itu mengadakan kegiatan seperti
berikut:
Mereka akan menolong orang yang aniaya dan akan mengembalikan
hak-hak mereka selama tetes air terakhir masih ada di lautan. Jika tak mereka
lakukan demikian, mereka akan mengganti kerugian korban itu dari harta milik
mereka sendiri (Raud-al-Unuf oleh Imam Suhaili).
Agaknya tidak pernah ada anggota lain dari perkumpulan
itu merasa terpanggil untuk melaksanakan kegiatan yang sudah disepakati oleh
setiap anggota perkumpulan itu. Kesempatan datang kepada Rasulullah s.a.w.
ketika beliau mengumumkan tugas risalat beliau. Musuh yang paling besar, ialah
Abu Jahal, seorang pemuka kabilah di Mekkah. Ia menganjurkan pemboikotan
sosial dan penghinaan umum terhadap Rasulullah s.a.w.. Pada saat itu datang
seseorang orang kampung dari luar Mekkah. Abu Jahal berhutang uang kepada orang
itu,
tetapi ingkar melunasi. Hal itu diceriterakan kepada
orang-orang Mekkah. Beberapa pemuda, semata-mata dengan niat jahat, menganjurkan
minta pertolongan kepada Rasulullah s.a.w.. Mereka menyangka Rasulullah s.a.w.
akan menolak membantu karena ada bahaya permusuhan umum terhadap beliau dan
terutama takut akan perlawanan Abu Jahal. Jika Rasulullah s.a.w. menolak
membantu orang dusun itu, beliau akan dituduh melanggar janji beliau kepada perkumpulan itu. Jika sebaliknya Rasulullah s.a.w.
menolak dan menjumpai Abu Jahal untuk menuntut pembayaran hutangnya, pasti Abu Jahal
akan mengusir beliau dengan penghinaan dan ejekan. Orang dusun itu menemui
Rasulullah s.a.w.. Beliau tanpa ragu-ragu sedikitpun bangkit, lalu pergi
bersama-sama dengan orang dusun itu dan mengetuk pintu rumah Abu Jahal. Abu
Jahal keluar dan melihat penagih hutangnya berdiri di samping Rasulullah s.a.w.
yang menyebut hutangnya dan meminta pembayaran. Abu Jahal sangat kaget dan
tanpa membuat dalih apa pun, membayar sekaligus. Ketika para pemimpin Mekkah
lainnya mendengar kejadian itu, mereka menyesali Abu Jahal dengan mencela kelemahan
yang telah dibuktikannya, dan sikap yang bertentangan dengan bualannya. Dia yang menganjurkan boikot sosial
terhadap Rasulullah s.a.w. tetapi malah ia sendiri menerima dan tunduk kepada perintah
Rasulullah s.a.w. dan segera membayar hutangnya atas usul Rasulullah s.a.w..
Untuk membela diri Abu Jahal berkata bahwa tiap-tiap orang lain pun akan
berbuat seperti dia. Dikatakan kepada mereka bahwa pada saat Rasulullah s.a.w.
ada di ambang pintunya, ia melihat juga dua ekor unta buas di kanan-kiri
Rasulullah s.a.w. dan siap menyerangnya. Kita tidak dapat menerangkan macam apa
pengalaman itu. Apakah hal itu penampakan mukjizat untuk menakut-nakuti Abu
Jahal atau, apakah pengaruh kehadiran Rasulullah s.a.w. yang sangat
berwibawalah yang menimbulkan pemandangan khayal itu? Seorang yang dibenci dan dimusuhi
oleh seluruh kota telah berani pergi seorang diri menemui pemimpin kota dan menuntut pembayaran hutangnya.
Mungkin kejadian yang sama sekali tak terduga sebelumnya itu mengejutkan dan menakutkan
Abu Jahal, dan sejenak membuat Abu Jahal lupa akan apa yang disumpahkannya
terhadap Rasulullah s.a.w. dan mendorong dia berbuat menurut anjuran Rasulullah
s.a.w. (Hisyam).
Kabar Ghaib Agung Menjadi Sempurna
Saat berperang telah mendekat, Rasulullah s.a.w.
keluar dari kemah kecil, di sana beliau lama mendoa, lalu beliau mengumumkan: “Musuh
pasti akan binasa dan melarikan diri.” Kata-kata itu diwahyukan kepada
Rasulullah s.a.w. selang beberapa waktu sebelum itu di Mekkah. Jelas wahyu itu
berhubungan dengan perang ini. Ketika kekejaman Mekkah mencapai puncaknya dan kaum
Muslimin sedang berhijrah ke tempat-tempat mereka dapat hidup dengan
aman dan damai, Rasulullah s.a.w. menerima wahyu dari Allah:
Dan, sesungguhnya telah datang kepada kaum Firaun,
para pemberi peringatan. Mereka mendustakan Tanda-tanda Kami semuanya, maka Kami
sergap mereka dengan sergapan Dzat Yang Maha Perkasa. Maha Kuasa. Apakah
orang-orang kafir kamu lebih baik daripada orang-orang sebelum kamu? Atau
apakah ada bagimu jaminan kebebasan di dalam kitab-kitab terdahulu? Atau apakah
mereka berkata, “Kami golongan yang bersatu, yang menang?” Golongan itu akan
segera dikalahkan dan akan membalikkan punggung mereka, melarikan diri.
Bahkan Saat itu telah dijanjikan kepada mereka; dan Saat itu paling mengerikan
dan paling pahit. Sesungguhnya, orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan
dan mengidap penyakit gila. Pada hari ketika mereka akan diseret ke
dalam Api bersama-sama pemuka mereka. Dikatakan kepada mereka,
“Rasakanlah sentuhan azab neraka.” (54:42-49).
Ayat-ayat itu bagian dari Surah Al-Qamar dan
menurut semua riwayat, Surah itu diturunkan di Mekkah. Para alim-ulama
Islam menempatkan turunnya wahyu itu di antara tahun kelima dan sepuluh Nabawi,
yaitu, sekurang-kurangnya tiga tahun sebelum hijrah. Kemungkinan besar wahyu
itu diturunkan delapan tahun sebelum Hijrah. Sarjana-sarjana Eropa juga sepakat
dengan pendapat ini. Menurut Noldeke, seluruh Surah ini diturunkan
sesudah tahun kelima Nabawi. Wherry memandang waktu itu agak terlalu dini.
Menurut dia, Surah itu termasuk tahun keenam atau ketujuh sebelum Hijrah
atau sesudah Nabawi. Pendek kata, para alim-ulama Islam dan
sumber-sumber bukan-Islam kedua-duanya bersepakat bahwa Surah ini
diwahyukan selang bertahun-tahun sebelum Rasulullah dan para Sahabat berhijrah
dari Mekkah ke Medinah. Nilai ayat-ayat Makiyyah sebagai ayat-ayat yang mengandung
kabar-ghaib sama sekali tidak dapat diragukan atau dibantah. Dalam ayat-ayat ini ada isyarat-isyarat yang
jelas mengenai apa yang bakal terjadi pada kaum Mekkah di medan pertempuran
Badar. Nasib malang yang akan mereka alami jelas diramalkan. Ketika Rasulullah
s.a.w. keluar dari kemah, beliau menyatakan ulang kabarghaib dalam Surah
Makiyyah itu. Beliau agaknya ingat kepada ayat-ayat Makiyyah itu
waktu beliau berdoa di dalam kemah. Dengan membaca satu dari antara ayat-ayat
itu, beliau memperingatkan para Sahabat bahwa saat yang dijanjikan dalam wahyu Makiyyah
itu telah datang.
Dan, Saat itu sungguh-sungguh telah datang. Nabi
Yesaya (21:13-17) telah mengabar-ghaibkan perihal saat itu. Pertempuran mulai berkecamuk
meskipun kaum Muslim belum siap dan orang-orang kafir telah mendengar
nasihat agar jangan berperang. Tiga ratus tiga belas orang-orang Islam,
kebanyakan tidak punya pengalaman dan tidak pandai berperang, dan hampir
semuanya tanpa perlengkapan yang cukup, menghadapi kekuatan yang tiga kali
lipat dan semuanya prajurit yang berpengalaman. Dalam beberapa jam saja banyak
pemimpin Mekkah terkemuka menemui ajal mereka. Sesuai dengan apa yang
dikabarghaibkan oleh Nabi Yesaya, habislah segala kemuliaan Kedar. Balatentara
Mekkah melarikan diri pontang-panting dan dalam keadaan kacau-balau
meninggalkan mereka yang tewas dan beberapa yang tertawan. Di antara tawanan-tawanan
itu terdapat paman Rasulullah s.a.w., Abbas, yang biasanya melindungi
Rasulullah s.a.w. di masa beliau tinggal di Mekkah. Abbas terpaksa ikut serta
dengan kaum Mekkah dan memerangi Rasulullah s.a.w.. Tawanan lain bernama Abul 'As,
mantu Rasulullah s.a.w.. Di antara mereka yang tewas terdapat Abu Jahal,
Panglima Tertinggi lasykar Mekkah dan, menurut segala riwayat, merupakan musuh Islam yang terbesar. Kemenangan telah
tiba, tetapi menimbulkan rasa yang
campur-baur pada Rasulullah s.a.w.. Beliau gembira atas sempurnanya janji-janji
Ilahi yang berulang-ulang diturunkan selama jangka waktu empat belas
tahun yang lampau. Janji-janji yang telah tercatat dalam beberapa Kitab agama
terdahulu. Tetapi, pada saat itu juga beliau bersedih hati atas kemalangan kaum
Mekkah. Alangkah menyedihkannya nasib yang mereka jumpai! Jika kemenangan itu
diraih oleh orang lain selain beliau, ia akan melompat-lompat kegirangan.
Tetapi melihat para tawanan di hadapan beliau, diikat dan dibelenggu, mata
beliau dan mata sahabat karib beliau, Abu Bakar, digenangi airmata. Umar, yang di hari kemudian
mengganti Abu Bakar menjadi khalifah kedua Islam, menyaksikan hal itu, tetapi
ia tidak dapat memahami, mengapa Rasulullah s.a.w. dan Abu Bakar menangisi kemenangan?
Umar menjadi bingung. Maka ia memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah
s.a.w., “Ya Rasulullah, katakanlah kepadaku, mengapa anda menangis jika Tuhan
memberi kemenangan yang begitu besar. Jika kita harus menangis, aku akan ikut
menangis atau sedikitnya memperlihatkan muka sedih.” Rasulullah s.a.w. menunjuk
kepada nasib malang tawanan-tawanan. Itulah akibat pembangkangan terhadap
Tuhan.
Nabi Yesaya berkali-kali menyebut keadilan Nabi itu;
ia yang keluar dengan kemenangan dari perang mati-matian. Ihwal keadilannya telah
terpamer pada peristiwa berikut ini. Dalam perjalanan pulang ke Medinah,
Rasulullah s.a.w. malam harinya beristirahat di perjalanan. Para sahabat setia
yang menjaga beliau dapat melihat, betapa Rasulullah s.a.w. tampak resah dan
tidak dapat tidur. Segera mereka menerka bahwa hal itu disebabkan oleh karena
beliau mendengar rintihan paman beliau, Abbas, yang berbaring di dekat situ
diikat dengan kuatnya sebagai tawanan perang. Mereka melonggarkan tali pengikat
Abbas. Rintihan Abbas berhenti. Rasulullah s.a.w., tidak terganggu lagi oleh
rintihannya, mulai tertidur. Tak lama kemudian beliau bangun dan merasa heran, mengapa
tidak lagi terdengar rintihan Abbas. Beliau setengah menyangka bahwa Abbas
telah pingsan. Tetapi para sahabat yang menjaga Abbas mengatakan bahwa mereka
telah melonggarkan tali pengikat Abbas supaya Rasulullah s.a.w. dapat tidur
pulas. “Jangan, jangan!” sabda Rasulullah s.a.w. “Tidak boleh ada
ketidakadilan. Jika Abbas masih keluargaku, tawanan-tawanan lainnya pun
mempunyai
ikatan kekeluargaan dengan orang-orang
lain Longgarkan semua tali pengikat mereka atau ikat kembali erat-erat tali
pengikat Abbas juga.” Para Sahabat mendengar teguran itu lalu mengambil
keputusan untuk melonggarkan ikatan semua tawanan dan mereka sendiri memikul dengan
penuh rasa tanggung jawab kewajiban penjagaan. Kepada para tawanan yang pandai
baca-tulis dijanjikan
kemerdekaan jika mereka dapat mengajar sepuluh anak
laki-laki Mekkah sebagai tebusan kemerdekaan. Mereka yang tak punya siapa-siapa
yang dapat membayar tebusan mereka, dapat meraih kemerdekaan mereka atas
permohonan sendiri. Dengan membebaskan para tawanan dengan cara serupa itu
Rasulullah s.a.w. menyudahi kebiasaan kejam, yaitu, kebiasaan menjadikan
tawanan perang sebagai budak belian.
Dikutip oleh:
Redaktur Baleajar Tanjungsari