Islam adalah sebuah ajaran ilmiah yang merujuk pada tiga sumber utama. Pertama,
yaitu wahyu-wahyu khusus yang diterima oleh Nabi Muhammad s.a.w sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan, mulai tahun 610 – 632 Masehi:
’Pada bulan Ramadhan,
diturunkan padanya Al-Qur’an guna menjadi petunjuk bagi manusia dan memberi
penjelasan dari petunjuk tersebut serta pembeda antara yang hak dan batil’ (Surah Al-Baqarah;
2:185).
Wahyu-wahyu yang turun secara bertahap disampaikan kepada para pengikutnya
untuk dihafalkan, dan dikemudian hari dibukukan atas perintah Khalifah Utsman
bin Affan - Al-Qur’an. Di luar Al-Qur’an, beliau juga banyak mendapatkan
wahyu-wahyu lainnya.
Kedua, yaitu contoh tindakan, ucapan, dan perilaku Nabi Muhammad s.a.w selama
menjalankan tugas kenabiannya, kemudian ditiru oleh pengikutnya dan kemudian
diturunkan kepada anak keturunannya – Sunnah.
Ketiga, yaitu bukti tertulis ucapan atau tindakan Nabi Muhammad s.a.w yang
dicatat, diingat atau dihafal oleh para pengikutnya, kemudian dibukukan oleh seseorang
setelah beliau wafat – Hadis.
Hanya sebagian kecil rahasia Al-Qur’an yang sempat dijelaskan Nabi Muhammad
s.a.w selama masa kenabian beliau - 23 tahun. Penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an
disampaikan oleh beliau berdasarkan wahyu yang beliau terima (di luar wahyu Al-Qur’an),
tentunya disesuaikan dengan tingkat perkembangan sains dan teknologi,
keterbatasan kosa kata Bahasa Arab saat itu, serta pendidikan umum dari umat
Islam dan umat lainnya yang hidup di lingkungan beliau. Namun dibandingkan
dengan ilmu kalam (sains) pada masa itu teks secara eksplisit Al-Qur’an
merupakan pengetahuan yang jauh lebih maju (advance)
dan canggih (sophisticated) untuk
membawa masyarakat ke arah peradaban yang lebih modern. Demikian juga dengan
sunnah dan hadis, keduanya merupakan petunjuk hidup yang nyaris sempurna untuk
saat itu.
Ketika Nabi Muhammad s.a.w wafat maka para khulafaur rasyidin, empat khalifah pengganti nabi, yaitu Abu Bakar
Sidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib melanjutkan
kepemimpinan Nabi Muhammad s.a.w yang berlandaskan wahyu (min hajjin nubuwwah). Keempat khalifah
rasyidin tersebut mewarisi ilmu-ilmu ’bijak’ sesuai dengan yang diajarkan
Nabi Muhammad s.a.w, tidak saja duniawi, akan tetapi juga rohaniah. Keempatnya
memimpin umat dan agama Islam yang masih sangat muda dengan cara-cara dialogis,
demokratis, memenuhi prinsip kejujuran serta keadilan. Selanjutnya, setelah terbunuhnya
khalifah ke empat, Ali bin Abi Thalib, umat Islam kehilangan pemandu rohani.
Muawiyah bin Abu Sufyan, pengganti Ali bin Abi Thalib, walaupun dipanggil
sebagai khalifah, namun pada kenyataannya lebih memposisikan dirinya sebagai
seorang raja otoriter. Muawiyah bin Abu Sufyan tidak pernah mengklaim dirinya
sebagai pemimpin rohani (imam). Oleh karena itu masa kepemimpinannya lebih
ditekankan pada kekuatan fisik - pemaksaan yang notabene perilaku limbic.
Demikian juga keturunan Muawiyah bin Abu Sufyan yang menggantikannya adalah
raja imperium Islam yang berperilaku limbic.
Sebagai contoh, Yazid anak dan sekaligus pengganti Muawiyah tercatat dalam
sejarah Islam telah melakukan tindak
biadab dan keji, yaitu membiarkan pasukannya memenggal cucunda Nabi Muhammad
s.a.w, Husein bin Ali. Kepala Husein bin Ali yang telah terlepas dihunus tombak
menembus dari lehernya dan ’dipajang’ di jalanan selama beberapa hari. Tindakan
Yazid bin Muawiyah yang tidak beradab ini merupakan pengulangan perilaku neneknya
Hindun. Di dalam perang Uhud, Hindun memakan jantung pamanda Nabi Muhammad
s.a.w - Hamzah bin Abdul Muthalib. Mudah dipahami bahwa hal seperti itu hanya
mungkin dilakukan oleh manusia dengan limbic
yang dominan menguasai dirinya.
Pemerintahan Bani Ummayah yang lebih mengedepankan limbic selama hampir setengah abad telah membawa umat Islam pada kehidupan
yang kurang seimbang antara duniawi dan rohani. Kenikmatan dan kebesaran
duniawi telah menjadi tolok ukur kebesaran Islam. Memang benar bahwa kerajaan
Islam di bawah kendali Bani Umayah berhasil menjadi kekuatan dunia yang perkasa
dengan kekayaan berlimpah ruah. Itulah fakta sejarah yang tidak mungkin
dipungkiri. Sudah barang tentu semuanya terjadi atas kehendak Sang Maha Pencipta.
Setelah mengalami kekosongan kepemimpinan rohani selama hampir satu abad
lamanya maka umat Islam kembali memperoleh kenikmatan rohani, melalui ’kehadiran’ Umar ibn Abdul al-Azis (682-720). Tampilnya
Umar bin Abdul Azis sebagai pemimpin rohani (mujaddid) merupakan penggenapan nubuwatan Nabi Muhammad s.a.w:
”Sesungguhnya Allah
Ta’ala senantiasa akan membangkitkan untuk umat ini pada permulaan tiap abad
orang yang akan memperbaharui agama.” (Hadis Riwayat Abu Dawud)
Umar bin Abdul Azis diyakini sebagai mujaddid
abad pertama setelah hijrah sebagaimana dinyatakan oleh Shah Waliullah (1703 – 1762
Masehi) - seorang suci yang dipercayai sebagai mujaddid abad ke 13 hijrah. Beliau adalah salah seorang khalifah
dalam dinasti Bani Ummayah. Beliau menggantikan sepupunya Sulaeman bin Abdul
Malik, yang meninggalkan wasiat tertulis agar jabatan khalifah tidak diberikan kepada
anak atau adiknya. Penunjukkan ini didasarkan pada kriteria kesalehan dan ketinggian
ilmu rohani Umar bin Abdul Azis.
Pada masa kekhalifahannya yang singkat (kurang dari tiga tahun) Umar bin
Abdul Azis memerintahkan kepada Abu Bakr bin Muhammad bin Hazm untuk
mengumpulkan hadis. Sebagai catatan, Umar bin Abdul Azis dibesarkan di Madinah
di bawah bimbingan Abdullah Ibn Umar, seorang pengumpul hadis. Beliau khawatir
jika tidak dilakukan pengumpulan secepatnya maka akan banyak sabda Nabi
Muhammad s.a.w yang dilupakan orang dan hilang ditelan masa. Pekerjaan ini
merupakan pembuka jalan dibukukannya berbagai hadis yang kita kenal hingga saat
ini. Pada masa kekhalifahannya juga beliau mengajak umat Islam menjauhi
kebencian terhadap keluarga Ali bin Abi Thalib.
Walaupun Umar bin Abdul Aziz telah wafat namun wacana demokratis yang
dibangunnya menghidupkan perkembangan ilmu kalam atau sains. Khalifah Umar bin
Abdul Aziz memberikan umat Islam ’hak’ nya untuk hidup di alam kehidupan
berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis – wawasan rasional.
Setelah reformasi pemahaman Islam yang pertama kali digulirkan Umar bin
Abdul Aziz sekali lagi Tuhan berkenan menurunkan seorang mujaddid, yaitu Imam Syafii (767-820 Masehi). Beliau dipercayai
mayoritas umat Islam sebagai pendiri madh’hab
Syafii. Imam Syafii menghabiskan masa hidupnya bertepatan dengan kekhalifahan
Harun Al-Rasyid dan Al-Makmun. Masa pemerintahan keduanya, khususnya Khalifah
Al-Makmun ditandai dengan berkembangnya sains. Agar sains yang masih dalam tahap embrio tidak
memberikan penafsiran yang salah (tentang ayat-ayat Al-Qur’an atau hadis) maka Imam
Syafii melarang umat Islam untuk mempercayainya secara membabi buta. Hal ini
dimaksudkan untuk mencegah bid’ah atau cara baru dalam syariah agama.
Pandangan beliau ini nampaknya berkaitan dengan asumsi bahwa semua pengetahuan
baik dunia maupun akhirat telah tercakup dan terpenuhi di dalam Al-Qur’an dan
hadis. Pesan beliau tentunya sangat benar untuk ukuran masa itu.
Sungguhpun Imam Syafii sangat menghargai keutamaan para sahabat namun
beliau tidak memberikan ruang bagi pernyataan-pernyataan para khulafaur rasyidin (Abu Bakar, Umar,
Utsman, dan Ali) masuk ke dalam buku-buku yang ditulisnya, seperti Al-Umm dan
Al-Risalah Al-Jadidah. Tampaknya beliau menghawatirkan bahwa pernyataan para khulafaur rasyidin akan tercampur dengan
hadis. Waktu itu hanya Al-Qur’an yang sudah dibukukan sedangkan hadis nabi
belum dibukukan.
Koleksi hadis diselesaikan pertama kali oleh Imam Bukhari (810-870 Masehi)
dalam buku Al-Jami as-Sahih (Sahih Bukhari), kemudian Imam Muslim (821-875
Masehi) dalam buku Al-Jami as-Sahih (Sahih Muslim), Imam Tirmidhi (824-892 Masehi) dalam bukunya Sunan
al-Tirmidhi, Imam Abu Dawud (821-895 Masehi), Imam Nasa’i, Imam Baihaqi, Imam
Daraqutni, Imam Ibn Majjah, dan lainnya. Hadis-hadis tersebut dibukukan pada
masa yang relatif berdekatan. Dengan telah
dibukukannya hadis maka lengkaplah sumber utama dasar keyakinan agama Islam.
Pemahaman Islam berkembang lebih pesat pada masa Abu al-Hasan al-Ash’ari
(874-936 Masehi). Beliau sejak kecil belajar ilmu kalam dan logika dari seorang
guru mutazalite bernama al-Jubba’i.
Kelompok mutazalite (kaum rasional) sangat
menekankan pada ijtihad (berpikir
logis dan diskusi) dalam upaya memahami Al-Qur’an. Oleh karena pendidikan yang
rasional dan dialogis maka limbic beliau
tidak berkembang dengan baik. Walaupun di masa tuanya beliau banyak menolak
pemikiran mutazalite, namun beliau
juga menolak konsep pemikiran kaum ortodoks yang menekankan pada taqlid (mengikuti tanpa berpikir atau
percaya buta). Kaum ortodoks menolak inovasi pemahaman Islam dalam bentuk pemikiran
yang rasional dan diskusi. Pandangan beliau ini disimpulkan dalam bukunya
Istihsan al-Khaud. Penolakan beliau terhadap sebagian pandangan mutazalite pada masa tuanya didasarkan pada
keyakinan bahwa metode dan piranti ilmiah yang digunakan oleh para pengikut
al-Jubba’i masih sangat lemah. Oleh karena itu, pemikiran rasional pada abad ke
sepuluh masehi tidak akan pernah menghasilkan kesimpulan yang benar. Shah
Waliullah mengatakan bahwa Abu al-Hasan al-Ash’ari dilahirkan sebagai mujjadid abad ke tiga hijrah.
Pembaharu abad ke empat Abu Abdullah Hasan Nishapuri tidak banyak dikenal
oleh arus utama umat Islam, oleh karena itu tidak dibahas dalam buku ini.
Abad berikutnya adalah ketika ilmu kalam sudah berkembang sedemikian rupa,
dan Al-Qur’an serta semua hadis sudah dibukukan. Secara teoritis, sains dan
ilmu agama lebih dapat saling melengkapi (complementary).
Dengan demikian sebagian ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis dapat dijelaskan lebih
ilmiah.
Karena perkembangan ilmu kalam yang pesat, maka dunia Islam melahirkan banyak
ilmuwan. Salah satu ilmuwan terbesar pada masa itu adalah pencipta daftar
logaritma dan dasar-dasar aljabar, ahli astronomi, ahli geografi kelas dunia - Al-Kwarizmi
(780 -850 Masehi)[1]. Ilmuwan lain yang juga ternama adalah Ibn Sina
(981-1037)[2]. Ibn Sina
yang dikenal oleh bangsa Barat sebagai Avicenna adalah penulis buku ’the Book
of Healing’ dan ’the Canon of Medicine’. Kedua bukunya dijadikan standar
pendidikan kedokteran modern oleh universitas-universitas terkemuka di Eropa.
Tidak mengherankan jika Ibn Sina dikenal sebagai Bapak Ilmu Kedokteran Modern
hingga saat ini.
Akan tetapi pada saat yang bersamaan Tuhan berkehendak ’melahirkan’ lebih
banyak lagi ulama-ulama ortodoks yang anti pemikiran, anti logika, dan anti
pembaharuan, yang hidup dan matinya dihabiskan untuk mempertahankan taqlid,
dogma, mistik, mitos – peradaban limbic. Secara teologis pandangan kaum
ortodoks ditolak oleh Ibn Sina. Menurut Ibn Sina semua kebenaran dapat
dibuktikan berdasarkan hubungan sebab-akibat dan proses. Kejadian alam bukanlah
sesuatu hal sederhana seperti mengucapkan ’mantera’ kun fayaa kun.
Era keemasan sains dan teknologi pada masa Ibn Sina dan setelahnya berhasil
membuka tabir dogma-dogma agama. Kebesaran Ibn Sina seiring dengan sistem
kenegaraan Islam yang sekuler membidani kelahiran seorang ilmuwan, pemikir, filsuf,
psikolog, sekaligus sufi yang sangat terkenal hingga hari ini - Imam Al-Ghazali
(1058-1111).
Imam Al-Ghazali dipercayai oleh Shah Waliullah sebagai mujaddid abad ke lima hijrah. Karya tulis beliau yang paling
terkenal yaitu Ihya al-Ulum al-Din, sangat
monumental karena masih dibaca dan dijadikan rujukan hingga saat ini. Buku
tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul the Revival of Religious Science
(Menghidupkan kembali Sains Agama).
Isi buku Ihya al-Ulum al-Din merupakan
sebuah reformasi dan koreksi total terhadap pemikiran kelompok Islam ortodoks
yang menentang rasionalitas, sains, dan adanya
wahyu setelah Nabi Muhammad s.a.w. Imam Al-Ghazali meneguhkan impian Ibn Sina
untuk menemukan kebenaran duniawi dan rohani melalui rasionalitas, sains dan
wahyu. Buku tersebut membahas masalah-masalah ketuhanan, akhlak dan tasauf,
dengan rujukan yang lebih luas dibandingkan karya-karya tulis abad sebelumnya.
Beliau mengupas Al-Qur’an dan hadis (termasuk yang dikatagorikan dhaif atau lemah oleh para akhli hadis)
berdasarkan telaahan sains terkini (untuk ukuran waktu itu) dan wahyu/ilham
yang beliau terima dalam berbagai kasyaf (mimpi benar). Hadis dalam katagori dhaif tidak berarti salah. Hadis dhaif yang dikemudian hari terbukti
benar tidak berbeda dengan hadis sahih. Karena
telaahan beliau yang bertentangan dengan pandangan arus utama maka timbulah permusuhan
dari ulama-ulama ortodoks. Beliau menjadi bulan-bulanan, ejekan dan hinaan dari
arus utama. Buku beliau dibakar agar tidak ’menodai’ tafsir agama kaum ortodoks
dan ’menyesatkan’ masyarakat banyak.
Ulama-ulama ortodoks sejak masa lalu kurang memahami hakekat Al-Qur’an sebagai
kitab wahyu. Sebuah kitab wahyu seperti Al-Qur’an di samping memiliki ayat-ayat
literal (mahkamat) juga mengandung
ayat-ayat yang berisi nubuwatan-nubuwatan atau yang disebut mutasyabihat. Karena Nabi Muhammad s.a.w
mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah mukjizat yang tidak akan berhenti sampai
dunia ini kiamat maka nubuwatan-nubuwatan di dalamnya akan tergenapi dari waktu
ke waktu. Masalahnya, pengertian setiap nubuwatan hanya akan dipahami dengan
benar ketika hal itu telah terjadi. Sebagai contoh Al-Qur’an mengatakan:
Maka pada hari ini Kami
selamatkan engkau (Firaun)[3])
dengan badanmu supaya menjadi pelajaran bari orang-orang yang datang sesudahmu,
dan sesungguhnya kebanyakan manusia melalaikan tanda-tanda kekuasaan Kami (Surah Yuunus; 10:92)
Bagaimana mungkin para penafsir klasik abad ke 8 dan seterusnya hingga abad
ke 19 dapat membuat tafsir yang benar dari ayat di atas? Padahal, mummi
Merneptah, Firaun atau raja Mesir yang tenggelam ketika melakukan pengejaran
terhadap Bani Israil baru ditemukan pada tahun 1898 oleh Loret di Thebes,
Mesir. Mummi tersebut kini disimpan di
Museum Kairo.
Karena kurangnya data dan pengetahuan yang mereka miliki mungkin saja para
penafsir akan membuat cerita khayalan dan dibuat-buat, contohnya seperti yang
dibuat oleh Pendeta Couroyer ketika memberikan komentar tentang Kitab Exodus
(Keluaran)14: 28-29:
.... demikianlah Tuhan
mencampakkan orang-orang Mesir ke tengah laut. Berbaliklah segala air itu, lalu
menutupi kereta dan orang berkuda dari seluruh pasukan Firaun, yang telah
menyusul orang Israil itu ke laut; seorangpun tidak ada yang tinggal dari
mereka ....
Dalam terjemahan Bible yang dikeluarkan oleh the Biblical School of Jerusalem[4]) pendeta Couroyer memberikan tafsirannya
berkenaan kematian Firaun dengan merujuk pada Surah Yuunus ayat 90-92:
"Al-Qur’an merujuk
kematian Fir’aun dalam Surah Yuunus (10:90-92), dan hadis ternama mengatakan bahwa
Fir’aun beserta bala tentaranya yang tenggelam hidup di dasar lautan berkuasa
atas manusia (makhluk) laut, sebagai contoh, anjing-anjing laut”
Komentar Pendeta Couroyer di atas sungguh tidak akurat karena Surah Yuunus
(10:90-92) sama sekali tidak menyinggung pernyataan,.. ’Fir’aun beserta bala tentaranya tenggelam, apalagi tentang . . . berkuasa atas manusia laut, sebagai
contoh, anjing-anjing laut. Tentang hadis ternama Pendeta Couroyer tidak menyebutkan pustakanya.
Surah Yuunus ayat 90 berbunyi sebagai berikut:
Dan Kami seberangkan
Bani Israil (melintasi laut), lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala
tentaranya karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga ketika Fir’aun
itu hendak tenggelam, dia berkata, ’Aku beriman, sesungguhnya tidak ada Tuhan
selain Tuhan yang diimani oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang yang
berserah diri’.90)
Jika dibaca dengan teliti sesungguhnya Surah Yuunus (10:90-92) di atas hanya
menekankan pada dua hal. Pertama, bahwa Fir’aun telah beriman kepada Tuhan
sebelum tenggelam (ayat 90), dan kedua, badannya diselamatkan (ayat 92). Bandingkan
dengan Kitab Exodus yang secara eksplisit menyatakan seluruh pasukan Firaun, yang telah menyusul orang Israil itu ke laut;
seorangpun tidak ada yang tinggal dari mereka.
Berkaca pada kenyataan ini maka sungguh sulit membuat tafsir sebuah
nubuwatan. Menafsirkan sebuah nubuwatan tidak hanya sekedar mengandalkan ilmu
tata bahasa, prosa, puisi, dan ilmu pengetahuan lainnya, akan tetapi juga membutuhkan
kesucian hati sebagaimana dikatakan Al-Qur’an:
Tiadalah yang menyentuh
(hakikatnya) melainkan mereka yang disucikan (Surah Al-Waqi’ah;
56:79)
Al-Ghazali menyadari, bahwa ilmu pengetahuan pada saat itu belum mampu
memberikan penjelasan dan pembenaran terhadap tafsir ayat-ayat Al-Qur’an maupun
hadis (khususnya yang bersifat mutasyabihat).
Oleh karena itu beliau berusaha mencari tahu apa yang tersirat dari berbagai nubuwatan
yang tersurat di dalam Al-Qur’an atau hadis melalui perenungan dan kesendirian (seclusion) di atas menara sebuah mesjid
di Tus - selama kurang lebih sepuluh tahun. Sudah barang tentu hasil
renungan dan pembenaran ilmiah yang disampaikan Al-Ghazali sulit diterima oleh
arus utama oleh karena pikiran mereka telah terkukung oleh paradigma lama,
yaitu ’paradigma limbic.’ Paradigma limbic menyenangi mitos, dogma, dan
taqlid. Mitos, dogma dan taqlid adalah pekerjaan sangat mudah dibandingkan
mempelajari sains dan merenung selama sepuluh tahun.
Sebagai seorang ilmuwan Al-Ghazali menginginkan pembuktian semua rahasia
alam ini. Jadi, menurut Al-Ghazali sains adalah sebuah piranti yang sangat berharga
untuk dapat membuka tabir rahasia ayat-ayat suci Al-Qur’an. Oleh karena itu
tidaklah mengherankan jika tulisan beliau penuh dengan logika, tanya-jawab dan
hubungan sebab-akibat, semacam pertanyaan yang sering diberikan dalam test
masuk pergurunan tinggi di negara-negara maju – test potensi akademik (TPA).
Dalam dunia sains, khususnya dokter akhli kandungan yang hidup pada abad ke
10, 15, dan 21 akan melihat proses inseminasi sebagai sesuatu hal yang berbeda.
Penjelasan tentang proses pembuahan dan perkembangan bayi di dalam rahim juga
dipahami berbeda oleh Imam Syafii maupun Imam Al-Ghazali. Namun, sebagian besar
agamawan abad ke 21 sekarang masih mempertahankan pemahaman secara literal
sebagaimana yang tertulis di dalam Al-Qur’an:
”.... sesungguhnya Kami
telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari
segumpal darah, kemudian dari segumpal daging . . . . . (Surah Al-Hajj; 22:5).
Al-Ghazali menyadari bahwa kitab Ihya
al-Ulum al-Din terlampau tebal untuk dibaca oleh orang awam. Hal ini akan
berdampak pada sulitnya pesan-pesan beliau sampai kepada khalayak ramai. Oleh sebab
itu dibuatlah ringkasannya dengan judul Kîmyãye
Saãdat (the Alchemy of Happiness). Al-Ghazali mengingatkan kepada umat
Islam untuk menjadikan bidang matematik dan kedokteran sebagai sains yang wajib
dipelajari oleh masyarakat - pembuka
jalan untuk menemukan kebenaran hakiki. Prinsip dasar para ilmuwan adalah ’seek and thou will find’, atau carilah
dan engkau akan menemukannya. Namun demikian penemuan bukti nyata terjadi
sejalan dengan perkembangan sains dan
teknologi”, kata Dr. Syafari Soma, seorang psikiater dari Bandung.
Sepeninggal Imam Al-Ghazali dunia Islam yang pernah menjadi sumber ilmu
pengetahuan dunia selama lebih dari tiga abad berakhir sudah. Hal ini sesuai dengan nubuwatan
Nabi Muhammad s.a.w:
“Abad terbaik adalah
dikala aku hidup (abad I Hijrah), kemudian abad berikutnya (abad
II Hijrah), kemudian abad setelah itu” (abad III Hijrah) (Tirmidzi dan Bukhari,
Kitab-us-Syahadat).
Kemunduran Islam dalam bidang sains dan teknologi mengembalikan umat
Islam umumnya dan bangsa Arab khususnya ke
peradaban limbic. Hal ini terjadi
karena kekuasaan para agamawan ortodoks menjadi sedemikian dominan dan merata di
dalam sistem kehidupan umat Islam. Al-Qur’an dalam bahasa simbolik yang indah menyampaikan
pesan berkenaan dengan akan datangnya masa kegelapan bagi umat Islam:
“Dia yang mengatur
urusan dari langit ke bumi, kemudian naik (kembali) kepada-Nya dalam satu hari
yang hitungan lamanya seribu tahun menurut hitungan kamu” (Surah As Sajdah;
32:5).
Ayat ‘Dia yang mengatur urusan dari
langit ke bumi’..... merujuk pada masa ketika Tuhan berkenan memberikan
kejayaan kepada umat Islam yang lamanya lebih dari tiga abad. Setelah itu Tuhan
telah membuat grand design akan
terjadinya kemunduran umat Islam karena kesalahan mereka sendiri selama, ......
‘satu hari yang hitungan lamanya seribu
tahun menurut hitungan kamu’.
Dalam keadaan pudarnya semangat meneliti dan berijtihad maka keinginan
untuk menemukan kebenaran hakiki dari sumber generik pengetahuan Islam,
Al-Qur’an dan hadis terhenti.
Sebagai contoh, Nabi Muhammad s.a.w pernah berkata kepada para sahabatnya
untuk mencuci tangan sebelum makan karena ditangan yang kotor banyak terdapat ‘setan’.
Umat Islam tidak berkeinginan untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan setan?
Nabi Muhammad s.a.w tidak menjelaskan secara rinci arti kata setan karena kosa
kata (vocabulary) yang dapat
mendeskripsikan kata tersebut belum ada pada masa itu.
Pernyataan ini baru terjawab secara ilmiah kurang lebih seribu tahun
kemudian, tepatnya pada tahun 1676, ketika seorang ilmuwan amatir berkebangsaan
Belanda bernama Antonie van Leeuwenhoek (1632-1723) menemukan berbagai jasad
renik melalui mikroskop sederhana yang dibuatnya. Bahwa setan yang
dimaksud oleh Nabi Muhammad s.a.w ternyata makhluk hidup mikro sejenis bakteri.
Van Leeuwenhoek kemudian dikenal sebagai Bapak Mikrobiologi.
Dengan penemuan mikroorganisme hidup yang tidak kasat mata ini maka
keyakinan arus utama agamawan khususnya yang mempercayai teori generatio spontanea (spontaneous generation) atau sesuatu
terjadi dengan sendirinya dapat dipatahkan. Sebagai catatan, pemahaman agamawan tentang ’mantera’ kun fayaa kun kurang lebih menyerupai generatio spontanea. Padahal,
berdasarkan kenyataan semua kejadian di alam ini terjadi melalui proses yang berlangsung sesuai dengan
hukum alam atau Hukum Tuhan yang pasti.
Para sahabat pada masa itu tidak mempertanyakan apa dan siapa yang dimaksud
dengan setan karena dua alasan. Pertama, era sains dan teknologi belum
mendukung untuk memahami pembenaran ilmiah. Kedua, sebagian besar para sahabat
percaya secara penuh pernyataan seorang nabi dan berusaha mematuhi perintahnya
tanpa memahami makna yang sebenarnya.
Mematuhi perintah seorang nabi bagi para pengikut agama yang setia
adalah wajib hukumnya dan merupakan ibadah. Selain itu, sebagian sahabat yang
kurang ilmunya namun dipenuhi keyakinan yang kuat terhadap kebenaran setiap
ucapan dan tindakan beliau tidak ingin mempertanyakan lebih jauh tentang
makhluk setan. Hadis tersebut kemudian diwariskan kepada anak dan cucunya dan
pada akhirnya dituliskan oleh seseorang. Walaupun hadis tersebut tidak hilang
namun tidak juga dipahami maknanya oleh sebagian besar umat Islam karena mereka
menjauhi sains.
Umat Islam saat ini hanya mengenal Nabi Muhammad s.a.w melalui
cerita-cerita dalam hadis yang kemudian diterjemahkan dan ditafsirkan oleh
seseorang dari masa ke masa. Tafsir dari seseorang pada abad ke 10 belum tentu
merupakan jawaban untuk abad ke 15. Demikian juga, tafsir seseorang pada abad
ke 15 belum tentu sepenuhnya benar ketika dibaca oleh manusia yang hidup pada
abad ke 21. Selain itu oleh karena sebagian besar ulama tidak menafsirkan dan
mengupas pernyataan hadis tersebut dengan memanfaatkan penemuan para ilmuwan,
akibatnya pemahaman modern tentang siapa dan apa itu setan tidak pernah
tertanam ke dalam mindset publik. Di
samping itu, para ulama juga kurang memberikan contoh praktis mencuci tangan
sebelum makan, sehingga keyakinan tersebut hari demi hari semakin tipis dan
tidak lagi dipandang sebagai bagian penting dari ajaran Islam.
Oleh karena tipisnya keyakinan yang berkaitan dengan hadis ini maka tidak
pernah terjadi kericuhan atau pertentangan untuk mempertahankannya. Sebagian
ulama mengatakan bahwa hadis ini hanya berurusan dengan masalah kesehatan -
bukanlah sebuah akidah. Akidah yang dipandang penting dan mutlak adalah seperti
keyakinan finalitas Nabi Muhammad s.a.w (tidak ada lagi nabi setelah Muhammad
s.a.w), mukjizat nabi-nabi seperti Nabi Isa a.s dapat menghidupkan orang mati,
Nabi Isa a.s masih hidup di langit dan akan turun dengan badan kasarnya dari
langit, Nabi Musa a.s dapat membelah laut, Nabi Muhammad s.a.w naik ke langit
menaiki binatang bernama buraq, dan berbagai cerita-cerita ajaib di dalam kitab
suci. Cerita-cerita ajaib tersebut ditanamkan secara massal kepada umat
beragama secara turun temurun selama lebih dari seribu tahun sehingga
menumbuhkan keyakinan dengan kekuatan yang sangat luar biasa.
Pada dasarnya keyakinan manusia terjadi karena sel-sel syaraf (neuron) manusia secara bertahap, sedikit
demi sedikit, menyimpan memori ke dalam limbic
nya, dan setelah tertanam dalam waktu yang lama akan terbentuk keyakinan inti (core
beliefs) atau sering disebut sebagai schemata. Dalam bahasa neuroscience dapat dikatakan bahwa schemata adalah keyakinan yang
telah melekat (embeded) dalam benak manusia. Dogma agama seringkali
melekat demikian kuatnya pada seseorang atau sekelompok orang sehingga menjadi
sebuah keyakinan yang irasional.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, keyakinan inti dibangun dari
pengalaman hidup sejak kecil, yang menjadi piranti lunak (software)
dalam proses persepsi manusia. Oleh karena setiap manusia memiliki tingkat
kematangan dan kemampuan menyimpan memori yang berbeda, maka dengan sendirinya setiap
individu akan mencapai suatu tingkatan keadaan diri yang berbeda pula.
Dikutip dari buku “AGAMA
YANG MEMBEBASKAN”
Karya: DR Soekmana Soema
[1]
En.wikipedia.org dan www.groups.dcsw.st.and.ac.uk
[2]
En.wikipedia.org dan www.indopedia.org
[3])
Firaun yang tenggelam adalah
Merneptah, anak Ramses II. Ramses II yang berkuasa 1279-1213 Sebelum Masehi
adalah ayah angkat Nabi Musa a.s (Jew. Enc, jilid 9 hal 500 dan Enc.Bib, pada
kata “Pharaoh” dan “Egypt”).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar