Senin, 23 Juli 2012

SURI TAULADAN


Kehidupan Rasulullah Bagaikan Kitab Terbuka[1]

Kehidupan Pendiri Agung Agama Islam adalah bagaikan kitab terbuka yang pada tiap-tiap bagiannya kita menjumpai penjelasan dan perincian yang sangat menarik. Tidak ada Guru atau Nabi lain yang kehidupannya direkam begitu lengkapnya dan yang karenanya begitu mudah dipelajari seperti kehidupan Rasulullah s.a.w.. Memang banyaknya fakta-fakta yang tercatat itu telah membuka kesempatan untuk celaan-celaan jahat. Tetapi, menjadi kenyataan pula bahwa sesudah celaan-celaan itu diselidiki dan dibuktikan kekeliruannya, kepercayaan dan kecintaan, sebagai akibat dan hasilnya, tidak mungkin ditimbulkan oleh kehidupan siapa pun. Kehidupan-kehidupan yang gelap dan samar bebas dari celaan, tetapi semuanya gagal menimbulkan keyakinan dan kepercayaan dalam diri para pengikutnya. Beberapa kekecewaan dan kesukaran pasti tetap ada. Tetapi kehidupan yang begitu banyak diriwayatkan dengan sangat terinci seperti kehidupan Rasulullah s.a.w. memaksa kita merenung dan akhirnya timbul keyakinan; setelah celaan-celaan dan tuduhan-tuduhan palsu dilenyapkan, kehidupan yang demikian itu membangkitkan cinta kita yang penuh dan kekal. Tetapi, hendaknya menjadi jelas bahwa riwayat hidup yang demikian terbuka dan kayanya itu tidak mungkin diceritakan dengan singkat. Yang dapat diusahakan hanya sekelumit belaka. Tetapi pandangan sekejap mata pun tetap sangat berharga. Seperti kami katakan tadi, sebuah Kitab Wahyu hanya sedikit memberi daya tarik kecuali jika mempelajarinya itu dilengkapi dengan pengetahuan tentang Guru si pembawanya. Pokok ini telah diabaikan oleh kebanyakan agama. Agama Hindu, umpamanya, menjunjung tinggi Weda, tetapi tentang risyi-risyi yang menerima Weda dari Tuhan, kita tidak dapat menceriterakan apa-apa.
Keperluan melengkapi suatu ajaran agama dengan riwayat hidup pembawanya agaknya tidak dirasakan penting oleh tokoh-tokoh Hindu. Ulama-ulama Yahudi dan Kristen, pada lain pihak, tidak ragu-ragu memburuk-burukkan nabi-nabi mereka sendiri. Mereka lupa bahwa wahyu yang telah gagal dalam memperbaiki nama baik siapa yang menerimanya, tidak banyak lagi gunanya untuk orang-orang lain. Jika penerima wahyu sukar diketahui, maka timbullah pertanyaan, mengapa Tuhan telah memilih dia? Haruskah Dia berbuat demikian? Tak ada persangkaan yang nampaknya cocok. Mengira bahwa wahyu itu tidak dapat memperbaiki nama baik mereka yang menerimanya, sama tidak masuk akal seperti persangkaan bahwa Tuhan tak punya pilihan lagi kecuali memilih penerima wahyu yang tak punya kemampuan untuk menerima sebagian wahyu-wahyu-Nya. Walaupun demikian, pikiran dan persangkaan semacam itu telah menyelinap ke dalam berbagai agama, barangkali karena jarak waktu yang memisahkan mereka dari para Pendirinya atau karena kecerdasan otak manusia sampai diturunkannya Islam tidak sanggup mengetahui kesesatan pikiran semacam itu.

Betapa pentingnya dan berharganya soal menghubungkan sebuah Kitab Suci dengan Guru yang membawanya, sudah disadari sangat dini dalam Islam. Salah seorang dari istri-istri Rasulullah s.a.w. ialah Aisyah, yang masih muda sekali. Usia beliau kira-kira13-14 tahun ketika beliau dinikahkan kepada Rasulullah s.a.w. Kira-kira delapan tahun beliau hidup dalam ikatan nikah dengan Rasulullah s.a.w.. Ketika Rasulullah s.a.w. wafat, usia istri beliau baru 22 tahun. Beliau masih muda dan buta huruf. Walaupun demikian, beliau tahu benar bahwa suatu ajaran tak dapat dipisahkan dari Guru yang membawanya. Ketika beliau ditanya tentang akhlak dan kepribadian Rasulullah s.a.w., beliau menjawab segera bahwa akhlak Rasulullah s.a.w. adalah Al-Qur’an (Abu Daud). Apa yang diamalkan Rasulullah s.a.w. adalah apa yang diajarkan oleh Al-Qur’an. Pula apa yang diajarkan oleh Al-Qur’an adalah tak lain selain apa yang diamalkan beliau. Telah menambah kecemerlangan Rasulullah s.a.w. bahwa seorang wanita muda yang buta huruf sanggup menangkap suatu kebenaran yang tidak tertangkap oleh sarjana-sarjana Hindu, Yahudi, dan Kristen. Siti Aisyah r.a. melukiskan suatu kebenaran yang luhur dan penting itu dalam kalimat yang pendek dan sederhana; seorang Guru yang benar dan jujur tidak mungkin mengajarkan sesuatu tetapi melakukan lain lagi, atau mengerjakan sesuatu tetapi mengajarkan lain lagi. Rasulullah s.a.w. adalah Guru yang benar dan jujur. ltulah yang sesungguhnya ingin dikatakan Siti Aisyah r.a.. Rasulullah s.a.w. melakukan apa yang diajarkan, dan beliau mengajarkan apa yang dilakukan. Untuk mengetahui beliau, kita harus mengetahui Al-Qur’an dan untuk mengenal Al-Qur’an kita harus mengenal pula Rasulullah s.a.w..

Arabia Saat Rasulullah Lahir

Rasulullah dilahirkan di Mekkah dalam bulan Agustus 570 Masehi (Atau menurut penyelidikan mutakhir, Rasulullah lahir dalam bulan April 571). Nama yang diberikan kepada beliau adalah Muhammad yang berarti, Yang Terpuji. Untuk mengenal kehidupan dan watak beliau, kita harus mengetahui keadaan yang berlaku di Arabia pada waktu beliau dilahirkan. Ketika beliau lahir, seluruh Arabia, dengan sedikit kekecualian di sana-sini, menganut bentuk agama musyrik atau bertuhan banyak. Bangsa Arab itu mengaku keturunan Nabi Ibrahim a.s.. Mereka tahu benar bahwa Nabi Ibrahim a.s. itu Guru agama yang berpegang pada Tauhid. Walaupun demikian, mereka tetap berpegang pada polytheisme dan melakukan perbuatan-perbuatan musyrik. Sebagai pembelaan diri, mereka mengatakan bahwa beberapa manusia sangat menonjol perhubungannya dengan Tuhan. Syafaat (intersesi) mereka bagi orang lain diterima Tuhan. Tuhan adalah Wujud Yang Maha Luhur lagi Maha Agung. Bagi orang-orang kebanyakan sukar dapat sampai kepada Tuhan. Hanya manusia sempurna dapat berhubungan langsung dengan Tuhan. Oleh karena itu, orang-orang biasa harus mempunyai orang lain untuk menjadi perantara bagi kepentingan mereka sebelum mereka dapat meraih sendiri perhubungan langsung dengan Tuhan, dan menarik keridhaan dan pertolongan-Nya. Dengan pendirian demikian mereka berhasil memadukan rasa takzim kepada Nabi Ibrahim a.s. dengan ide kemusyrikan mereka. Mereka mengatakan bahwa Nabi Ibrahim a.s. itu seorang orang suci lagi mulia. Beliau dapat mencapai perhubungan dengan Tuhan tanpa perantara. Tetapi orang-orang Mekkah kebanyakan tidak mungkin mencapai Tuhan tanpa perantaraan orang-orang suci dan saleh. Untuk mencari dan mendapatkan perantaraan ini, kaum Mekkah telah membuat patung beberapa orang suci dan saleh; mereka menyembah patung-patung itu dan kepada serta lewat patung-patung itu mereka menyampaikan kebaktian untuk meraih ridha Ilahi. Pendirian demikian itu primitif lagi tidak masuk akal, selain itu penuh dengan cacat dan kelemahan. Tetapi, kaum Mekkah tidak menaruh rasa khawatir akan hal-hal itu. Sejak lama sekali mereka tidak dikunjungi Guru yang berpegang pada prinsip Tauhid Ilahi. Dan, sekali kemusyrikan menyelinap dan berakar dalam suatu masyarakat, maka menyebarlah kepercayaan itu tanpa mengenal batas dan tepi. Jumlah berhala mulai meningkat banyaknya. Pada saat kelahiran Rasulullah s.a.w., di dalam Ka'bah — rumah peribadatan yang didirikan oleh Nabi Ibrahim a.s. — konon ada sejumlah 360 buah berhala. Agaknya kaum Mekkah mempunyai sebuah berhala untuk tiap-tiap hari tahun Qomariah. Di tempat-tempat lain dan pusat-pusat lain terdapat berhala lain sehingga kita dapat mengatakan bahwa tiap-tiap daerah bagian Arabia telah tenggelam di dalam kemusyrikan. Bangsa Arab sangat gemar akan ragam budaya berpidato. Perhatian mereka sangat besar terhadap bahasa lisan dan amat bergairah untuk menggalakkannya. Namun, mereka sedikit saja mempunyai hasrat maju dalam bidang ilmu. llmu sejarah, ilmu bumi, matematika, dan sebagainya sama sekali tidak mereka kenal. Namun demikian, karena mereka merupakan penghuni padang pasir dan karena terpaksa harus mampu mengetahui jalan di padang pasir, tanpa bantuan tanda-tanda, mereka mengembangkan perhatian besar kepada ilmu falak (astronomi). Di seluruh negeri Arab tidak terdapat sebuah sekolah pun waktu itu. Konon, di Mekkah hanya terdapat satu-dua orang yang pandai baca tulis.
Dilihat dari segi akhlak, bangsa Arab merupakan kaum yang memiliki watak yang berlawanan. Mereka menderita cacat akhlak yang luar biasa, namun di samping itu mereka memiliki sifat-sifat yang terpuji. Mereka itu pemabuk-pemabuk berat. Untuk mereka mabuk-mabuk dan kehilangan kesadaran karena mabuk itu suatu perbuatan terpuji, bukan dosa. Anggapan mereka mengenai orang yang sopan ialah orang yang sering mengundang kawan-kawan dan tetangga pada perjamuan lomba minum arak. Tiap-tiap hartawan hendaknya mengadakan perjamuan minum arak lima kali sehari. Perjudian juga merupakan kegemaran mereka dan mereka telah menjadikannya suatu olah seni. Mereka tidak berjudi untuk menjadi kaya. Pemenangpemenang diharapkan menjamu kawan-kawan. Dalam waktu peperangan, dana-dana dihimpun lewat perjudian. Sekarang pun terdapat penyelenggaraan-penyelenggaraan lotre untuk mengumpulkan dana guna peperangan. Organisasi-organisasi itu telah dijelmakan di zaman kita ini oleh bangsa-bangsa Eropa dan Amerika. Tetapi, mereka hendaknya menyadari bahwa dalam hal-hal itu mereka hanya meniru-niru bangsa Arab. Jika peperangan meletus, suku-suku Arab berkumpul dan menyelenggarakan pesta perjudian. Siapa senang dan mendapat keuntungan, dialah yang harus menanggung bagian terbesar biaya perang. Kemewahan-kemewahan hidup beradab tidak dikenal oleh orang-orang Arab. Mereka cukup mendapatkan kepuasan dalam minum-minum dan berjudi. Kesibukan mereka yang utama adalah perdagangan dan untuk itu mereka mengirimkan kafilah-kafilah mereka sampai ke tempat-tempat yang jauh-jauh. Dengan cara demikian mereka berniaga dengan Abessinia, Siria, dan Palestina. Mereka mempunyai pula hubungan perdagangan dengan India. Hartawan-hartawan mereka sangat menggemari pedang-pedang buatan India. Keperluan bahan pakaian mereka terutama dipenuhi oleh negeri-negeri Yaman dan Siria. Pusatpusat perdagangan terletak di kota-kota. Bangsa Arab lainnya, kecuali Yaman dan beberapa daerah bagian utara, terdiri atas orang-orang Badui.
Tak ada pemukiman-pemukiman yang tetap dan tidak ada tempat-tempat permanen yang berpenduduk. Berbagai suku bangsa telah membagi-bagi negeri di antara mereka sehingga anggota-anggota suku dengan bebas dapat bergerak di daerah bagian mereka. Jika persediaan air di suatu tempat habis, mereka bergerak ke tempat lain dan untuk sementara menetap di situ. Kekayaan mereka terdiri dari domba, kambing, dan unta. Dari bulu-bulu mereka membuat pakaian, dan dari kulit dibuat kemah-kemah. Selebihnya dijual-belikan di pasar. Emas dan perak tidak asing bagi mereka, tetapi tentu saja merupakan milik yang sangat langka. Orang miskin dan rakyat jelata membuat perhiasan dan mata uang dari kulit kerang dan bahan-bahan yang harum. Biji semangka dibersihkan, dikeringkan dan dirangkaikan menjadi kalung. Kejahatan dan perbuatan asusila yang bermacam-macam coraknya merajalela. Pencurian jarang terjadi, tetapi perampokan adalah hal yang lazim. Menyerang dan saling merampas dipandang hak turun-temurun. Tetapi, di samping itu, mereka sangat setia pada janji; di dalam segi ini mereka lebih dari pada bangsa lain. Jika seseorang pergi mendapatkan seorang pemimpin atau suatu suku yang berkuasa dan minta perlindungan, maka pemimpin atau suku itu merasa berkewajiban melindungi orang itu. Jika hal itu tidak diberikan, kehormatan suku itu jatuh di mata seluruh Arab. Ahli syair mendapat pengaruh dan penghargaan yang besar. Mereka dimuliakan bagaikan pemimpin-pemimpin bangsa. Pemimpin-pemimpin diharapkan mempunyai kesanggupan besar berpidato, bahkan pula mampu menggubah syair-syair. Keramahan terhadap tamu dipandang sebagai sifat kemuliaan bangsa. Seorang musafir yang tersesat diterima sebagai tamu terhormat oleh suatu suku. Ternak terbaik akan disembelih untuk menjamunya dan penghormatan sebaik-baiknya diperlihatkan. Mereka tidak menghiraukan siapa yang datang berkunjung. Untuk mereka cukup bahwa ada tamu datang. Kunjungan itu dipandang sebagai sesuatu yang menambah nilai kedudukan dan wibawa suku. Maka menjadi kewajiban suku itu untuk memuliakan tamu. Penghormatan terhadapnya berarti menghormati diri sendiri. Wanita tak mempunyai kedudukan dan hak dalam masyarakat Arab ini. Di antara mereka ada yang beranggapan bahwa membunuh anak perempuan adalah perbuatan yang terhormat. Tetapi, tidak benar kalau menyangka bahwa pembunuhan anak perempuan itu dilakukan besar-besaran. Kebiasaan yang sangat berbahaya itu tak mungkin berkembang di seluruh negeri. Hal semacam itu berarti lenyapnya bangsa. Hal yang benar ialah, di Arabia atau demikian pula di India atau negeri lain tempat pembunuhan anak pernah dilakukan, kebiasaan itu hanya terbatas pada beberapa keluarga. Keluarga-keluarga Arab yang melakukan hal itu mempunyai anggapan yang berlebih-lebihan tentang kedudukan mereka dalam masyarakat atau terpaksa oleh dorongan-dorongan lain. Mungkin mereka tidak dapat menemukan calon menantu yang pantas untuk anak-anak perempuan mereka; dengan kesadaran itu mereka membunuh bayi-bayi perempuan mereka. Kejahatan pranata (adat) ini terletak pada kebiadabannya dan kebuasannya, bukan dalam akibat yang diderita oleh penduduk negeri. Macam-macam cara dilakukan guna pembunuhan bayi perempuan itu, diantaranya mengubur hidup-hidup atau dengan jalan mencekik. Hanya ibu kandung yang dipandang sebagai ibu di dalam masyarakat Arab. Ibu tiri tidak dipandang sebagai ibu dan tidak ada peraturan yang melarang seorang anak laki-laki mengawini ibu tirinya setelah bapaknya meninggal. Beristrikan banyak adalah suatu kelaziman dan tidak ada batas jumlah istri yang boleh dikawin oleh seorang laki-laki. Lebih dari satu saudara sekandung boleh dikawin oleh seorang laki-laki pada waktu yang sama.
Perlakuan yang paling buruk dilakukan oleh satu pihak terhadap yang lain, dan sebaliknya, dalam peperangan. Jika kebencian meluapluap, mereka tidak ragu-ragu membelah badan prajurit-prajurit yang terluka, mengambil suatu bagian dan memakannya sebagai cara yang buas memakan daging sesama manusia. Mereka tidak segan-segan mencincang badan musuh. Memotong hidung atau telinga atau mencukil mata adalah cara-cara aniaya dan keganasan yang biasa mereka lakukan. Perbudakan begitu meluas. Suku-suku lemah dijadikan budak. Seorang budak tak mempunyai hak, tiap tuan berbuat sesuka hatinya terhadap budak-budaknya. Tidak ada tindakan dapat diambil terhadap tuan yang menganiaya budaknya. Seorang tuan dapat membunuh budaknya tanpa dituntut pertanggung-jawaban. Jika seorang tuan membunuh budak orang lain, hukumannya bukan hukuman mati. Apa yang diwajibkan kepadanya hanya berupa penggantian kerugian yang layak kepada pihak tuannya yang dirugikan. Budak wanita dipakai untuk pemuasan seksual. Anak yang lahir dari perhubungan demikian diperlakukan sebagai budak. Budak wanita yang sudah menjadi ibu, tetap menjadi budak. Dalam bidang kebudayaan dan peradaban, bangsa Arab merupakan kaum yang sangat terbelakang. Belas kasih dan tenggang rasa terhadap satu sama lain tidak mereka ketahui. Wanita merupakan bagian masyarakat yang paling buruk kedudukannya. Tetapi, di samping sifat-sifat buruk itu, bangsa Arab memiliki sifat terpuji juga. Keberanian, umpamanya, kadangkala mencapai peringkat mutu yang sangat tinggi. Di dalam kaum demikianlah Rasulullah s.a.w. dilahirkan. Ayahnya bernama Abdullah, meninggal sebelum Rasulullah s.a.w. lahir.
Maka beliau dan ibunya, Aminah, dipelihara oleh kakeknya yang bernama Abdul Mu’talib. Bayi Muhammad disusui oleh wanita kampung yang tinggal dekat Ta'if. Menyerahkan bayi kepada orang kampung untuk disusui, kemudian memeliharanya, mengajar bicara, dan menanam kebiasaan berlatih untuk menjaga kesehatan badan, merupakan kebiasaan pada zaman itu. Pada usia Muhammad enam tahun, ibunda wafat dalam perjalanan dari Medinah ke Mekkah, dan harus dikebumikan di perjalanan. Anak itu dibawa ke Mekkah oleh seorang khadimah, lalu menyerahkannya kepada kakeknya. Ketika berumur delapan tahun, kakek pun meninggal. Maka paman beliau yang bemama Abu Thalib menjadi pemeliharanya sebagai amanat terakhir kakeknya. Rasulullah s.a.w. dua-tiga kali mendapat kesempatan mengadakan perjalanan keluar Arabia. Di antaranya, beliau pada usia dua belas tahun ikut serta dengan Abu Thalib, pergi ke Siria. Agaknya, perjalanan ini hanya sejauh kotakota sebelah Tenggara Siria (Suriah), sebab dalam catatan sejarah perjalanan itu tidak disebut nama-nama tempat seperti kota Yerusalem. Mulai saat itu sampai tumbuh dewasa beliau tetap tinggal di Mekkah. Dari masa kanak-kanak beliau biasa bertafakkur dan berkhalwat. Dalam pertengkaran dan permusuhan antar orang-orang lain beliau tak pernah ikut campur, kecuali dengan tujuan mendamaikan mereka. Diriwayatkan bahwa suku-suku Mekkah dan sekitarnya, karena jemu mengalami
pertumpahan darah yang berlarut-larut, mengambil keputusan untuk mendirikan suatu perkumpulan dengan tujuan memberikan pertolongan dan perlindungan kepada korban perlakuan aniaya dan tidak adil. Ketika Rasulullah s.a.w. mendengar adanya usaha itu, segera beliau dengan gembira menggabungkan diri. Anggota perkumpulan itu mengadakan kegiatan seperti berikut:
Mereka akan menolong orang yang aniaya dan akan mengembalikan hak-hak mereka selama tetes air terakhir masih ada di lautan. Jika tak mereka lakukan demikian, mereka akan mengganti kerugian korban itu dari harta milik mereka sendiri (Raud-al-Unuf oleh Imam Suhaili).

Agaknya tidak pernah ada anggota lain dari perkumpulan itu merasa terpanggil untuk melaksanakan kegiatan yang sudah disepakati oleh setiap anggota perkumpulan itu. Kesempatan datang kepada Rasulullah s.a.w. ketika beliau mengumumkan tugas risalat beliau. Musuh yang paling besar, ialah Abu Jahal, seorang pemuka kabilah di Mekkah. Ia menganjurkan pemboikotan sosial dan penghinaan umum terhadap Rasulullah s.a.w.. Pada saat itu datang seseorang orang kampung dari luar Mekkah. Abu Jahal berhutang uang kepada orang itu,
tetapi ingkar melunasi. Hal itu diceriterakan kepada orang-orang Mekkah. Beberapa pemuda, semata-mata dengan niat jahat, menganjurkan minta pertolongan kepada Rasulullah s.a.w.. Mereka menyangka Rasulullah s.a.w. akan menolak membantu karena ada bahaya permusuhan umum terhadap beliau dan terutama takut akan perlawanan Abu Jahal. Jika Rasulullah s.a.w. menolak membantu orang dusun itu, beliau akan dituduh melanggar janji beliau kepada perkumpulan itu. Jika sebaliknya Rasulullah s.a.w. menolak dan menjumpai Abu Jahal untuk menuntut pembayaran hutangnya, pasti Abu Jahal akan mengusir beliau dengan penghinaan dan ejekan. Orang dusun itu menemui Rasulullah s.a.w.. Beliau tanpa ragu-ragu sedikitpun bangkit, lalu pergi bersama-sama dengan orang dusun itu dan mengetuk pintu rumah Abu Jahal. Abu Jahal keluar dan melihat penagih hutangnya berdiri di samping Rasulullah s.a.w. yang menyebut hutangnya dan meminta pembayaran. Abu Jahal sangat kaget dan tanpa membuat dalih apa pun, membayar sekaligus. Ketika para pemimpin Mekkah lainnya mendengar kejadian itu, mereka menyesali Abu Jahal dengan mencela kelemahan yang telah dibuktikannya, dan sikap yang bertentangan dengan bualannya. Dia yang menganjurkan boikot sosial terhadap Rasulullah s.a.w. tetapi malah ia sendiri menerima dan tunduk kepada perintah Rasulullah s.a.w. dan segera membayar hutangnya atas usul Rasulullah s.a.w.. Untuk membela diri Abu Jahal berkata bahwa tiap-tiap orang lain pun akan berbuat seperti dia. Dikatakan kepada mereka bahwa pada saat Rasulullah s.a.w. ada di ambang pintunya, ia melihat juga dua ekor unta buas di kanan-kiri Rasulullah s.a.w. dan siap menyerangnya. Kita tidak dapat menerangkan macam apa pengalaman itu. Apakah hal itu penampakan mukjizat untuk menakut-nakuti Abu Jahal atau, apakah pengaruh kehadiran Rasulullah s.a.w. yang sangat berwibawalah yang menimbulkan pemandangan khayal itu? Seorang yang dibenci dan dimusuhi oleh seluruh kota telah berani pergi seorang diri menemui pemimpin kota dan menuntut pembayaran hutangnya. Mungkin kejadian yang sama sekali tak terduga sebelumnya itu mengejutkan dan menakutkan Abu Jahal, dan sejenak membuat Abu Jahal lupa akan apa yang disumpahkannya terhadap Rasulullah s.a.w. dan mendorong dia berbuat menurut anjuran Rasulullah s.a.w. (Hisyam).

Kabar Ghaib Agung Menjadi Sempurna

Saat berperang telah mendekat, Rasulullah s.a.w. keluar dari kemah kecil, di sana beliau lama mendoa, lalu beliau mengumumkan: “Musuh pasti akan binasa dan melarikan diri.” Kata-kata itu diwahyukan kepada Rasulullah s.a.w. selang beberapa waktu sebelum itu di Mekkah. Jelas wahyu itu berhubungan dengan perang ini. Ketika kekejaman Mekkah mencapai puncaknya dan kaum Muslimin sedang berhijrah ke tempat-tempat mereka dapat hidup dengan aman dan damai, Rasulullah s.a.w. menerima wahyu dari Allah:

Dan, sesungguhnya telah datang kepada kaum Firaun, para pemberi peringatan. Mereka mendustakan Tanda-tanda Kami semuanya, maka Kami sergap mereka dengan sergapan Dzat Yang Maha Perkasa. Maha Kuasa. Apakah orang-orang kafir kamu lebih baik daripada orang-orang sebelum kamu? Atau apakah ada bagimu jaminan kebebasan di dalam kitab-kitab terdahulu? Atau apakah mereka berkata, “Kami golongan yang bersatu, yang menang?” Golongan itu akan segera dikalahkan dan akan membalikkan punggung mereka, melarikan diri. Bahkan Saat itu telah dijanjikan kepada mereka; dan Saat itu paling mengerikan dan paling pahit. Sesungguhnya, orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan dan mengidap penyakit gila. Pada hari ketika mereka akan diseret ke dalam Api bersama-sama pemuka mereka. Dikatakan kepada mereka, “Rasakanlah sentuhan azab neraka.” (54:42-49).

Ayat-ayat itu bagian dari Surah Al-Qamar dan menurut semua riwayat, Surah itu diturunkan di Mekkah. Para alim-ulama Islam menempatkan turunnya wahyu itu di antara tahun kelima dan sepuluh Nabawi, yaitu, sekurang-kurangnya tiga tahun sebelum hijrah. Kemungkinan besar wahyu itu diturunkan delapan tahun sebelum Hijrah. Sarjana-sarjana Eropa juga sepakat dengan pendapat ini. Menurut Noldeke, seluruh Surah ini diturunkan sesudah tahun kelima Nabawi. Wherry memandang waktu itu agak terlalu dini. Menurut dia, Surah itu termasuk tahun keenam atau ketujuh sebelum Hijrah atau sesudah Nabawi. Pendek kata, para alim-ulama Islam dan sumber-sumber bukan-Islam kedua-duanya bersepakat bahwa Surah ini diwahyukan selang bertahun-tahun sebelum Rasulullah dan para Sahabat berhijrah dari Mekkah ke Medinah. Nilai ayat-ayat Makiyyah sebagai ayat-ayat yang mengandung kabar-ghaib sama sekali tidak dapat diragukan atau dibantah. Dalam ayat-ayat ini ada isyarat-isyarat yang jelas mengenai apa yang bakal terjadi pada kaum Mekkah di medan pertempuran Badar. Nasib malang yang akan mereka alami jelas diramalkan. Ketika Rasulullah s.a.w. keluar dari kemah, beliau menyatakan ulang kabarghaib dalam Surah Makiyyah itu. Beliau agaknya ingat kepada ayat-ayat Makiyyah itu waktu beliau berdoa di dalam kemah. Dengan membaca satu dari antara ayat-ayat itu, beliau memperingatkan para Sahabat bahwa saat yang dijanjikan dalam wahyu Makiyyah itu telah datang.
Dan, Saat itu sungguh-sungguh telah datang. Nabi Yesaya (21:13-17) telah mengabar-ghaibkan perihal saat itu. Pertempuran mulai berkecamuk meskipun kaum Muslim belum siap dan orang-orang kafir telah mendengar nasihat agar jangan berperang. Tiga ratus tiga belas orang-orang Islam, kebanyakan tidak punya pengalaman dan tidak pandai berperang, dan hampir semuanya tanpa perlengkapan yang cukup, menghadapi kekuatan yang tiga kali lipat dan semuanya prajurit yang berpengalaman. Dalam beberapa jam saja banyak pemimpin Mekkah terkemuka menemui ajal mereka. Sesuai dengan apa yang dikabarghaibkan oleh Nabi Yesaya, habislah segala kemuliaan Kedar. Balatentara Mekkah melarikan diri pontang-panting dan dalam keadaan kacau-balau meninggalkan mereka yang tewas dan beberapa yang tertawan. Di antara tawanan-tawanan itu terdapat paman Rasulullah s.a.w., Abbas, yang biasanya melindungi Rasulullah s.a.w. di masa beliau tinggal di Mekkah. Abbas terpaksa ikut serta dengan kaum Mekkah dan memerangi Rasulullah s.a.w.. Tawanan lain bernama Abul 'As, mantu Rasulullah s.a.w.. Di antara mereka yang tewas terdapat Abu Jahal, Panglima Tertinggi lasykar Mekkah dan, menurut segala riwayat, merupakan musuh Islam yang terbesar. Kemenangan telah tiba, tetapi menimbulkan rasa yang campur-baur pada Rasulullah s.a.w.. Beliau gembira atas sempurnanya janji-janji Ilahi yang berulang-ulang diturunkan selama jangka waktu empat belas tahun yang lampau. Janji-janji yang telah tercatat dalam beberapa Kitab agama terdahulu. Tetapi, pada saat itu juga beliau bersedih hati atas kemalangan kaum Mekkah. Alangkah menyedihkannya nasib yang mereka jumpai! Jika kemenangan itu diraih oleh orang lain selain beliau, ia akan melompat-lompat kegirangan. Tetapi melihat para tawanan di hadapan beliau, diikat dan dibelenggu, mata beliau dan mata sahabat karib beliau, Abu Bakar, digenangi airmata. Umar, yang di hari kemudian mengganti Abu Bakar menjadi khalifah kedua Islam, menyaksikan hal itu, tetapi ia tidak dapat memahami, mengapa Rasulullah s.a.w. dan Abu Bakar menangisi kemenangan? Umar menjadi bingung. Maka ia memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah s.a.w., “Ya Rasulullah, katakanlah kepadaku, mengapa anda menangis jika Tuhan memberi kemenangan yang begitu besar. Jika kita harus menangis, aku akan ikut menangis atau sedikitnya memperlihatkan muka sedih.” Rasulullah s.a.w. menunjuk kepada nasib malang tawanan-tawanan. Itulah akibat pembangkangan terhadap Tuhan.
Nabi Yesaya berkali-kali menyebut keadilan Nabi itu; ia yang keluar dengan kemenangan dari perang mati-matian. Ihwal keadilannya telah terpamer pada peristiwa berikut ini. Dalam perjalanan pulang ke Medinah, Rasulullah s.a.w. malam harinya beristirahat di perjalanan. Para sahabat setia yang menjaga beliau dapat melihat, betapa Rasulullah s.a.w. tampak resah dan tidak dapat tidur. Segera mereka menerka bahwa hal itu disebabkan oleh karena beliau mendengar rintihan paman beliau, Abbas, yang berbaring di dekat situ diikat dengan kuatnya sebagai tawanan perang. Mereka melonggarkan tali pengikat Abbas. Rintihan Abbas berhenti. Rasulullah s.a.w., tidak terganggu lagi oleh rintihannya, mulai tertidur. Tak lama kemudian beliau bangun dan merasa heran, mengapa tidak lagi terdengar rintihan Abbas. Beliau setengah menyangka bahwa Abbas telah pingsan. Tetapi para sahabat yang menjaga Abbas mengatakan bahwa mereka telah melonggarkan tali pengikat Abbas supaya Rasulullah s.a.w. dapat tidur pulas. “Jangan, jangan!” sabda Rasulullah s.a.w. “Tidak boleh ada ketidakadilan. Jika Abbas masih keluargaku, tawanan-tawanan lainnya pun mempunyai ikatan kekeluargaan dengan orang-orang lain Longgarkan semua tali pengikat mereka atau ikat kembali erat-erat tali pengikat Abbas juga.” Para Sahabat mendengar teguran itu lalu mengambil keputusan untuk melonggarkan ikatan semua tawanan dan mereka sendiri memikul dengan penuh rasa tanggung jawab kewajiban penjagaan. Kepada para tawanan yang pandai baca-tulis dijanjikan
kemerdekaan jika mereka dapat mengajar sepuluh anak laki-laki Mekkah sebagai tebusan kemerdekaan. Mereka yang tak punya siapa-siapa yang dapat membayar tebusan mereka, dapat meraih kemerdekaan mereka atas permohonan sendiri. Dengan membebaskan para tawanan dengan cara serupa itu Rasulullah s.a.w. menyudahi kebiasaan kejam, yaitu, kebiasaan menjadikan tawanan perang sebagai budak belian.

Dikutip oleh:
Redaktur Baleajar Tanjungsari


[1]     Petikkan dari beberapa Sub Bab dalam buku RIWAYAT HIDUP RASULULLAH SAW karya Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad a.t.b.a

IMAM MAHDI dan NABI ISA as ?


Kontroversi tentang hadits-hadits yang mengabarkan akan datangnya kembali Nabi Isa ‘alaihis salam memang menarik diperhatikan, utamanya bagi para peneliti dan pencari ilmu.

1.      Contoh Hadis tentang datangnya Imam Mahdi dan Nabi Isa ‘alaihis salam

Banyak sekali jumlah Hadits tentang datangnya Imam Mahdi dan Nabi Isa ibnu Maryam ‘alaihis salam, namun dirasa cukup dengan 3 Hadits sebagai contoh, yaitu:

Kemudian Isa ibnu Maryam ‘alaihimas salam datang dari arah barat dengan membenarkan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agamanya, lalu ia membunuh Dajjal (Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir dan Ar-Ruyani, Al-Hakim dalam Adh-Dhiya’ul-Muqaddas fil-Mukhtarah dari Samrah radhiyallahu ‘anh dan Kanzul-Umal, Juz XIV/387

Kemudian Isa ibnu Maryam turun dengan membenarkan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas agamanya sebagai Imam Mahdi dan Hakim yang adil,  lalu ia membunuh Dajjal (Ath-Thabrani dalam Al-Kabir dari Anillah bin Mughaffal radhiyallahu ‘anh dan Kanzul-Umal, Juz XIV/38808)

Dan demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sungguh Isa ibnu Maryam hampir turun di kalangan kamu sebagai hakim yang adil, imam yang adil, lalu ia akan memecahkan salib, membunuh Dajjal, meletakkan pajak, membagi-bagikan harta sampai-sampai tiada seorang pun yang menerimanya, sehingga sekali sujud lebih baik daripada dunia dan apa yang ada di dalamnya (Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, Al-Bukhari, Muslim, At-Turmudzi, Ibnu Majah dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anh dan Kanzul-Umal, Juz XIV/38842)

Menurut penelitian Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Hadis-hadis tentang Al-Mahdi dan Isa Al-Masih adalah mutawatir, bukan dhaif apalagi maudhu’ sebagaimana kata beliau berikut ini:

Dengan semua apa-apa yang telah kita sebutkan sudah ditetapkan bahwa Hadis-hadis yang berhubungan dengan Al-Mahdi yang ditunggu-tunggu, Hadis-hadis yang berhubungan dengan Dajjal dan Hadis-hadis yang berhubungan dengan turunnya Isa Al-Masih itu adalah mutawatir (Chujajul-Kiramah, hal. 434).

Dengan demikian Hadits tentang datangnya Imam Mahdi dan Isa Al-Masih Ibnu Maryam itu tidak diragukan kebenaran dan keshahihannya, karena banyak sahabat Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meriwayatkannya. Perlu diketahui bahwa dalam Hadis tersebut Isa ibnu Maryam itu dinyatakan sebagai Imam Mahdi, dengan demikian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa Imam Mahdi dan Isa ibnu Maryam yang dijanjikan kedatangannya pada akhir zaman itu adalah satu orang yang memiliki 2 gelar, bukan menunjukkan 2 orang yang berbeda.


2. Nama para Sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meriwayatkan
Diantara para sahabat Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meriwayatkan tentang akan datangnya Imam Mahdi dan Nabi Isa ‘alaihis salam adalah Abdullah ibnu Abbas, Abdullah ibnu Umar, Thalhah, Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Abu Sa’id Al-Khudri, Ummu Habibah, Ummu Salamah, Tsauban, Qurrah bin Ilyas radhiyallahu ‘anhum. Dengan demikian kebenaran Hadits-hadits tersebut sangat meyakinkan, tidak ada keraguan sedikitpun. Terlebih Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa mencintai para sahabat dan keluarga beliau itu adalah asas bagi agama Islam,beliau bersabda:

Islam itu telanjang, maka pakaiannya adalah rasa malu, perhiasannya adalah menunaikan janji, kehormatannya adalah amal saleh dan tiangnya adalah menjauhi setiap yang tidak baik. Segala sesuatu mempunyai pondasi, sedang pondasi Islam adalah mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencintai keluarga rumahnya (Ibnu An-Najjar dari Al-Husain bin Ali radhiyallahu ‘anh dan Kanzul-Ummal, Juz XI/32523)


3. Kitab-kitab yang Memuat Hadits tentang Imam Mahdi dan Nabi Isa ‘alaihis salam
Kitab-kitab yang mengandung Hadits Al-Mahdi antara lain ialah kitab Hadits Ad-Daruquthni, At-Turmudzi, Abu Daud, Al-Bazzar, Ibnu Majah, Al-Hakim, Ath-Thabari (lihat Muqaddamah Ibnu Khaldun, pasal 52, halaman 311) sedang kitab-kitab yang mengandung tentang Nabi Isa, Ibnu Maryam atau Al-Masih antara lain: Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Turmudzi, An-Nasa’I dan Adh-Dhiya’, Ibnu Majah, Musnad Ahmad bin Hanbal, Al-Mustadrak karya Al-Hakim, Fawa’idul-‘Iraqin, Ath-Thayalis, Al-Hilyah Abu Nu’aim, Ad-Dailami dan Kanzul-Ummal Fi Sunanil Aqwal wal-Af’al karya Allamah Alauddin Ali Al-Muttaqi bin Hisamuddin Al-Hindi Al-Burhan Fauri wafat 975 H.

Menurut Ulama Ahlis-Sunnah wal-Jamaah beriman kepada Imam Mahdi atau Nabi Isa ‘alaihis salam adalah wajib, sebagaimana tertulis:

Beriman kepada datangnya Imam Mahdi itu wajib, sebagaimana telah dibenarkan oleh para Ulama dan telah dijelaskan dalam aqidah-aqidah Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah dan juga diakui oleh Ahlusy-Syi’ah (Lawaichul-Anwaril-Bahiyah, Juz II, hal. 80).


4. Pendapat Mu’tamar NU

Dalam Mu’tamar Nahdlatul Ulama’ ke-3 di Surabaya, tanggal 12 Rabiul Tsani 1347H./ 28 September 1928 M, Mu’tamar mengeluarkan ittifaq hukum mengenai beberapa masalah diniyah termasuk masalah Al-Mahdi dan Nabi Isa ‘alaihis salam bahwa mereka mewajibkan untuk meyakini turunnya Nabi Isa pada akhir zaman sebagai Nabi dan Rasul yang melaksanakan syariat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Agar lebih mantap dan jelas, silakan membaca kutipan berikut ini:

46. S. Bagaimana pendapat Muktamar tentang Nabi Isa as setelah turun kembali ke dunia. Apakah tetap sebagai Nabi dan Rasul? Pada hal Nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir. Dan apakah madzhab empat itu akan tetap ada pada waktu itu?

       J. Kita wajib berkeyakinan bahwa Nabi Isa as itu akan diturunkan kembali pada akhir zaman nanti sebagai Nabi dan Rasul yang melaksanakan syariat Nabi Muhammad SAW dan hal itu, tidak berarti menghalangi Nabi Muhammad sebagai Nabi yang terakhir, sebab Nabi Isa as hanya akan melaksanakan syari’at Nabi Muhammad. Sedang madzhab empat pada waktu itu hapus (tidak berlaku) (Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama kesatu – 1926 s/d kedua puluh sembilan 1994, K.H.A. Aziz Masyhuri, diterbitkan PP RMI Bekerja sama dengan Dinamika Press Surabaya, 1997, halaman 36)

Pendapat Ulama Nahdlatul Ulama (NU) tersebut, mereka sokong dengan keterangan dari kitab Syarakh Ar Raudl Juz III. Penjelasan tersebut menyatakan bahwa turunnya Nabi Isa ‘alaihis salam akhir zaman itu tidak bertentangan dengan ayat Al-Quran yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu Khataman-Nabiyyin karena beliau tidak menghapus, bahkan menetapkan syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengamalkannya. Adapun cara Allah ta’ala dalam mengajarkan syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Al-Mahdi atau Nabi Isa as itu dengan memberikan wahyu melalui malaikat Jibril as. Jadi, keyakinan warga Jemaat Ahmadiyah yang menyatakan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi dan Nabi Isa ‘alaihis salam yang dijanjikan kedatangannya oleh Sayyidina Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tidak bertentangan dengan Al-Quran, Hadits, pendapat Ulama zaman dulu, Ulama NU (Nahdlatul Ulama) serta Ulama yang mengaku Ahlis-Sunnah wal-Jamaah. Bahkan, beliau itu merupakan bukti nyata dari kebenaran Al-Quran, Hadits dan pendapat para Ulama sebelum dan sesudahnya yang mengaku sebagai golongan Ahlis-Sunnah wal-Jamaah.

Ditulis oleh:
Abdul Rozzaq (Dosen Sekolah Mubaligh)

Sabtu, 21 Juli 2012

ISLAM BUKAN AGAMA PRIMITIF


Islam adalah sebuah ajaran ilmiah yang merujuk pada tiga sumber utama. Pertama, yaitu wahyu-wahyu khusus yang diterima oleh Nabi Muhammad s.a.w sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, mulai tahun 610 – 632 Masehi:
’Pada bulan Ramadhan, diturunkan padanya Al-Qur’an guna menjadi petunjuk bagi manusia dan memberi penjelasan dari petunjuk tersebut serta pembeda antara yang hak dan batil’ (Surah Al-Baqarah; 2:185).
Wahyu-wahyu yang turun secara bertahap disampaikan kepada para pengikutnya untuk dihafalkan, dan dikemudian hari dibukukan atas perintah Khalifah Utsman bin Affan - Al-Qur’an. Di luar Al-Qur’an, beliau juga banyak mendapatkan wahyu-wahyu lainnya.
Kedua, yaitu contoh tindakan, ucapan, dan perilaku Nabi Muhammad s.a.w selama menjalankan tugas kenabiannya, kemudian ditiru oleh pengikutnya dan kemudian diturunkan kepada anak keturunannya – Sunnah.
Ketiga, yaitu bukti tertulis ucapan atau tindakan Nabi Muhammad s.a.w yang dicatat, diingat atau dihafal oleh para pengikutnya, kemudian dibukukan oleh seseorang setelah beliau wafat – Hadis.  
Hanya sebagian kecil rahasia Al-Qur’an yang sempat dijelaskan Nabi Muhammad s.a.w selama masa kenabian beliau - 23 tahun. Penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an disampaikan oleh beliau berdasarkan wahyu yang beliau terima (di luar wahyu Al-Qur’an), tentunya disesuaikan dengan tingkat perkembangan sains dan teknologi, keterbatasan kosa kata Bahasa Arab saat itu, serta pendidikan umum dari umat Islam dan umat lainnya yang hidup di lingkungan beliau. Namun dibandingkan dengan ilmu kalam (sains) pada masa itu teks secara eksplisit Al-Qur’an merupakan pengetahuan yang jauh lebih maju (advance) dan canggih (sophisticated) untuk membawa masyarakat ke arah peradaban yang lebih modern. Demikian juga dengan sunnah dan hadis, keduanya merupakan petunjuk hidup yang nyaris sempurna untuk saat itu.
Ketika Nabi Muhammad s.a.w wafat maka para khulafaur rasyidin, empat khalifah pengganti nabi, yaitu Abu Bakar Sidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib melanjutkan kepemimpinan Nabi Muhammad s.a.w yang berlandaskan wahyu (min hajjin nubuwwah). Keempat khalifah rasyidin tersebut mewarisi ilmu-ilmu ’bijak’ sesuai dengan yang diajarkan Nabi Muhammad s.a.w, tidak saja duniawi, akan tetapi juga rohaniah. Keempatnya memimpin umat dan agama Islam yang masih sangat muda dengan cara-cara dialogis, demokratis, memenuhi prinsip kejujuran serta keadilan. Selanjutnya, setelah terbunuhnya khalifah ke empat, Ali bin Abi Thalib, umat Islam kehilangan pemandu rohani.
Muawiyah bin Abu Sufyan, pengganti Ali bin Abi Thalib, walaupun dipanggil sebagai khalifah, namun pada kenyataannya lebih memposisikan dirinya sebagai seorang raja otoriter. Muawiyah bin Abu Sufyan tidak pernah mengklaim dirinya sebagai pemimpin rohani (imam). Oleh karena itu masa kepemimpinannya lebih ditekankan pada kekuatan fisik - pemaksaan yang notabene perilaku limbic.
Demikian juga keturunan Muawiyah bin Abu Sufyan yang menggantikannya adalah raja imperium Islam yang berperilaku limbic. Sebagai contoh, Yazid anak dan sekaligus pengganti Muawiyah tercatat dalam sejarah Islam telah  melakukan tindak biadab dan keji, yaitu membiarkan pasukannya memenggal cucunda Nabi Muhammad s.a.w, Husein bin Ali. Kepala Husein bin Ali yang telah terlepas dihunus tombak menembus dari lehernya dan ’dipajang’ di jalanan selama beberapa hari. Tindakan Yazid bin Muawiyah yang tidak beradab ini merupakan pengulangan perilaku neneknya Hindun. Di dalam perang Uhud, Hindun memakan jantung pamanda Nabi Muhammad s.a.w - Hamzah bin Abdul Muthalib. Mudah dipahami bahwa hal seperti itu hanya mungkin dilakukan oleh manusia dengan limbic yang dominan menguasai dirinya.
Pemerintahan Bani Ummayah yang lebih mengedepankan limbic selama hampir setengah abad telah membawa umat Islam pada kehidupan yang kurang seimbang antara duniawi dan rohani. Kenikmatan dan kebesaran duniawi telah menjadi tolok ukur kebesaran Islam. Memang benar bahwa kerajaan Islam di bawah kendali Bani Umayah berhasil menjadi kekuatan dunia yang perkasa dengan kekayaan berlimpah ruah. Itulah fakta sejarah yang tidak mungkin dipungkiri. Sudah barang tentu semuanya terjadi atas kehendak Sang Maha Pencipta.
Setelah mengalami kekosongan kepemimpinan rohani selama hampir satu abad lamanya maka umat Islam kembali memperoleh kenikmatan rohani, melalui  ’kehadiran’ Umar ibn Abdul al-Azis (682-720). Tampilnya Umar bin Abdul Azis sebagai pemimpin rohani (mujaddid) merupakan penggenapan nubuwatan Nabi Muhammad s.a.w:
”Sesungguhnya Allah Ta’ala senantiasa akan membangkitkan untuk umat ini pada permulaan tiap abad orang yang akan memperbaharui agama.” (Hadis Riwayat Abu Dawud)
Umar bin Abdul Azis diyakini sebagai mujaddid abad pertama setelah hijrah sebagaimana dinyatakan oleh Shah Waliullah (1703 – 1762 Masehi) - seorang suci yang dipercayai sebagai mujaddid abad ke 13 hijrah. Beliau adalah salah seorang khalifah dalam dinasti Bani Ummayah. Beliau menggantikan sepupunya Sulaeman bin Abdul Malik, yang meninggalkan wasiat tertulis agar jabatan khalifah tidak diberikan kepada anak atau adiknya. Penunjukkan ini didasarkan pada kriteria kesalehan dan ketinggian ilmu rohani Umar bin Abdul Azis.
Pada masa kekhalifahannya yang singkat (kurang dari tiga tahun) Umar bin Abdul Azis memerintahkan kepada Abu Bakr bin Muhammad bin Hazm untuk mengumpulkan hadis. Sebagai catatan, Umar bin Abdul Azis dibesarkan di Madinah di bawah bimbingan Abdullah Ibn Umar, seorang pengumpul hadis. Beliau khawatir jika tidak dilakukan pengumpulan secepatnya maka akan banyak sabda Nabi Muhammad s.a.w yang dilupakan orang dan hilang ditelan masa. Pekerjaan ini merupakan pembuka jalan dibukukannya berbagai hadis yang kita kenal hingga saat ini. Pada masa kekhalifahannya juga beliau mengajak umat Islam menjauhi kebencian terhadap keluarga Ali bin Abi Thalib.
Walaupun Umar bin Abdul Aziz telah wafat namun wacana demokratis yang dibangunnya menghidupkan perkembangan ilmu kalam atau sains. Khalifah Umar bin Abdul Aziz memberikan umat Islam ’hak’ nya untuk hidup di alam kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis – wawasan rasional.
Setelah reformasi pemahaman Islam yang pertama kali digulirkan Umar bin Abdul Aziz sekali lagi Tuhan berkenan menurunkan seorang mujaddid, yaitu Imam Syafii (767-820 Masehi). Beliau dipercayai mayoritas umat Islam sebagai pendiri madh’hab Syafii. Imam Syafii menghabiskan masa hidupnya bertepatan dengan kekhalifahan Harun Al-Rasyid dan Al-Makmun. Masa pemerintahan keduanya, khususnya Khalifah Al-Makmun ditandai dengan berkembangnya sains.  Agar sains yang masih dalam tahap embrio tidak memberikan penafsiran yang salah (tentang ayat-ayat Al-Qur’an atau hadis) maka Imam Syafii melarang umat Islam untuk mempercayainya secara membabi buta. Hal ini dimaksudkan  untuk mencegah bid’ah atau cara baru dalam syariah agama. Pandangan beliau ini nampaknya berkaitan dengan asumsi bahwa semua pengetahuan baik dunia maupun akhirat telah tercakup dan terpenuhi di dalam Al-Qur’an dan hadis. Pesan beliau tentunya sangat benar untuk ukuran masa itu.
Sungguhpun Imam Syafii sangat menghargai keutamaan para sahabat namun beliau tidak memberikan ruang bagi pernyataan-pernyataan para khulafaur rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) masuk ke dalam buku-buku yang ditulisnya, seperti Al-Umm dan Al-Risalah Al-Jadidah. Tampaknya beliau menghawatirkan bahwa pernyataan para khulafaur rasyidin akan tercampur dengan hadis. Waktu itu hanya Al-Qur’an yang sudah dibukukan sedangkan hadis nabi belum dibukukan.
Koleksi hadis diselesaikan pertama kali oleh Imam Bukhari (810-870 Masehi) dalam buku Al-Jami as-Sahih (Sahih Bukhari), kemudian Imam Muslim (821-875 Masehi) dalam buku Al-Jami as-Sahih (Sahih Muslim),  Imam Tirmidhi (824-892 Masehi) dalam bukunya Sunan al-Tirmidhi, Imam Abu Dawud (821-895 Masehi), Imam Nasa’i, Imam Baihaqi, Imam Daraqutni, Imam Ibn Majjah, dan lainnya. Hadis-hadis tersebut dibukukan pada masa  yang relatif berdekatan. Dengan telah dibukukannya hadis maka lengkaplah sumber utama dasar keyakinan agama Islam.
Pemahaman Islam berkembang lebih pesat pada masa Abu al-Hasan al-Ash’ari (874-936 Masehi). Beliau sejak kecil belajar ilmu kalam dan logika dari seorang guru mutazalite bernama al-Jubba’i. Kelompok mutazalite (kaum rasional) sangat menekankan pada ijtihad (berpikir logis dan diskusi) dalam upaya memahami Al-Qur’an. Oleh karena pendidikan yang rasional dan dialogis maka limbic beliau tidak berkembang dengan baik. Walaupun di masa tuanya beliau banyak menolak pemikiran mutazalite, namun beliau juga menolak konsep pemikiran kaum ortodoks yang menekankan pada taqlid (mengikuti tanpa berpikir atau percaya buta). Kaum ortodoks menolak inovasi pemahaman Islam dalam bentuk pemikiran yang rasional dan diskusi. Pandangan beliau ini disimpulkan dalam bukunya Istihsan al-Khaud. Penolakan beliau terhadap sebagian pandangan mutazalite pada masa tuanya didasarkan pada keyakinan bahwa metode dan piranti ilmiah yang digunakan oleh para pengikut al-Jubba’i masih sangat lemah. Oleh karena itu, pemikiran rasional pada abad ke sepuluh masehi tidak akan pernah menghasilkan kesimpulan yang benar. Shah Waliullah mengatakan bahwa Abu al-Hasan al-Ash’ari dilahirkan sebagai mujjadid abad ke tiga hijrah.
Pembaharu abad ke empat Abu Abdullah Hasan Nishapuri tidak banyak dikenal oleh arus utama umat Islam, oleh karena itu tidak dibahas dalam buku ini.
Abad berikutnya adalah ketika ilmu kalam sudah berkembang sedemikian rupa, dan Al-Qur’an serta semua hadis sudah dibukukan. Secara teoritis, sains dan ilmu agama lebih dapat saling melengkapi (complementary). Dengan demikian sebagian ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis dapat dijelaskan lebih ilmiah.
Karena perkembangan ilmu kalam yang pesat, maka dunia Islam melahirkan banyak ilmuwan. Salah satu ilmuwan terbesar pada masa itu adalah pencipta daftar logaritma dan dasar-dasar aljabar, ahli astronomi, ahli geografi kelas dunia - Al-Kwarizmi (780 -850 Masehi)[1].  Ilmuwan lain yang juga ternama adalah Ibn Sina (981-1037)[2]. Ibn Sina yang dikenal oleh bangsa Barat sebagai Avicenna adalah penulis buku ’the Book of Healing’ dan ’the Canon of Medicine’. Kedua bukunya dijadikan standar pendidikan kedokteran modern oleh universitas-universitas terkemuka di Eropa. Tidak mengherankan jika Ibn Sina dikenal sebagai Bapak Ilmu Kedokteran Modern hingga saat ini.  
Akan tetapi pada saat yang bersamaan Tuhan berkehendak ’melahirkan’ lebih banyak lagi ulama-ulama ortodoks yang anti pemikiran, anti logika, dan anti pembaharuan, yang hidup dan matinya dihabiskan untuk mempertahankan taqlid, dogma, mistik, mitos – peradaban limbic. Secara teologis pandangan kaum ortodoks ditolak oleh Ibn Sina. Menurut Ibn Sina semua kebenaran dapat dibuktikan berdasarkan hubungan sebab-akibat dan proses. Kejadian alam bukanlah sesuatu hal sederhana seperti mengucapkan ’mantera’ kun fayaa kun.

Era keemasan sains dan teknologi pada masa Ibn Sina dan setelahnya berhasil membuka tabir dogma-dogma agama. Kebesaran Ibn Sina seiring dengan sistem kenegaraan Islam yang sekuler membidani kelahiran seorang ilmuwan, pemikir, filsuf, psikolog, sekaligus sufi yang sangat terkenal hingga hari ini - Imam Al-Ghazali (1058-1111).
Imam Al-Ghazali dipercayai oleh Shah Waliullah sebagai mujaddid abad ke lima hijrah. Karya tulis beliau yang paling terkenal yaitu Ihya al-Ulum al-Din, sangat monumental karena masih dibaca dan dijadikan rujukan hingga saat ini. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul the Revival of Religious Science (Menghidupkan kembali Sains Agama). 
Isi buku Ihya al-Ulum al-Din merupakan sebuah reformasi dan koreksi total terhadap pemikiran kelompok Islam ortodoks yang menentang rasionalitas,  sains, dan adanya wahyu setelah Nabi Muhammad s.a.w. Imam Al-Ghazali meneguhkan impian Ibn Sina untuk menemukan kebenaran duniawi dan rohani melalui rasionalitas, sains dan wahyu. Buku tersebut membahas masalah-masalah ketuhanan, akhlak dan tasauf, dengan rujukan yang lebih luas dibandingkan karya-karya tulis abad sebelumnya. Beliau mengupas Al-Qur’an dan hadis (termasuk yang dikatagorikan dhaif atau lemah oleh para akhli hadis) berdasarkan telaahan sains terkini (untuk ukuran waktu itu) dan wahyu/ilham yang beliau terima dalam berbagai kasyaf (mimpi benar). Hadis dalam katagori dhaif tidak berarti salah. Hadis dhaif yang dikemudian hari terbukti benar tidak berbeda dengan  hadis sahih. Karena telaahan beliau yang bertentangan dengan pandangan arus utama maka timbulah permusuhan dari ulama-ulama ortodoks. Beliau menjadi bulan-bulanan, ejekan dan hinaan dari arus utama. Buku beliau dibakar agar tidak ’menodai’ tafsir agama kaum ortodoks dan ’menyesatkan’ masyarakat banyak.   
Ulama-ulama ortodoks sejak masa lalu kurang memahami hakekat Al-Qur’an sebagai kitab wahyu. Sebuah kitab wahyu seperti Al-Qur’an di samping memiliki ayat-ayat literal (mahkamat) juga mengandung ayat-ayat yang berisi nubuwatan-nubuwatan atau yang disebut mutasyabihat. Karena Nabi Muhammad s.a.w mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah mukjizat yang tidak akan berhenti sampai dunia ini kiamat maka nubuwatan-nubuwatan di dalamnya akan tergenapi dari waktu ke waktu. Masalahnya, pengertian setiap nubuwatan hanya akan dipahami dengan benar ketika hal itu telah terjadi. Sebagai contoh Al-Qur’an mengatakan:
Maka pada hari ini Kami selamatkan engkau (Firaun)[3]) dengan badanmu supaya menjadi pelajaran bari orang-orang yang datang sesudahmu, dan sesungguhnya kebanyakan manusia melalaikan tanda-tanda kekuasaan Kami (Surah Yuunus; 10:92)
Bagaimana mungkin para penafsir klasik abad ke 8 dan seterusnya hingga abad ke 19 dapat membuat tafsir yang benar dari ayat di atas? Padahal, mummi Merneptah, Firaun atau raja Mesir yang tenggelam ketika melakukan pengejaran terhadap Bani Israil baru ditemukan pada tahun 1898 oleh Loret di Thebes, Mesir.  Mummi tersebut kini disimpan di Museum Kairo.
Karena kurangnya data dan pengetahuan yang mereka miliki mungkin saja para penafsir akan membuat cerita khayalan dan dibuat-buat, contohnya seperti yang dibuat oleh Pendeta Couroyer ketika memberikan komentar tentang Kitab Exodus (Keluaran)14: 28-29:
.... demikianlah Tuhan mencampakkan orang-orang Mesir ke tengah laut. Berbaliklah segala air itu, lalu menutupi kereta dan orang berkuda dari seluruh pasukan Firaun, yang telah menyusul orang Israil itu ke laut; seorangpun tidak ada yang tinggal dari mereka ....
Dalam terjemahan Bible yang dikeluarkan oleh the Biblical School of Jerusalem[4])  pendeta Couroyer memberikan tafsirannya berkenaan kematian Firaun dengan merujuk pada Surah Yuunus ayat 90-92:
"Al-Qur’an merujuk kematian Fir’aun dalam Surah Yuunus (10:90-92), dan hadis ternama mengatakan bahwa Fir’aun beserta bala tentaranya yang tenggelam hidup di dasar lautan berkuasa atas manusia (makhluk) laut, sebagai contoh, anjing-anjing laut”
Komentar Pendeta Couroyer di atas sungguh tidak akurat karena Surah Yuunus (10:90-92) sama sekali tidak menyinggung pernyataan,.. ’Fir’aun beserta bala tentaranya tenggelam, apalagi tentang . . . berkuasa atas manusia laut, sebagai contoh, anjing-anjing laut. Tentang hadis ternama Pendeta Couroyer  tidak menyebutkan pustakanya.
Surah Yuunus ayat 90 berbunyi sebagai berikut:
Dan Kami seberangkan Bani Israil (melintasi laut), lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga ketika Fir’aun itu hendak tenggelam, dia berkata, ’Aku beriman, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Tuhan yang diimani oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri’.90)
Jika dibaca dengan teliti sesungguhnya Surah Yuunus (10:90-92) di atas hanya menekankan pada dua hal. Pertama, bahwa Fir’aun telah beriman kepada Tuhan sebelum tenggelam (ayat 90), dan kedua, badannya diselamatkan (ayat 92). Bandingkan dengan Kitab Exodus yang secara eksplisit menyatakan seluruh pasukan Firaun, yang telah menyusul orang Israil itu ke laut; seorangpun tidak ada yang tinggal dari mereka.
Berkaca pada kenyataan ini maka sungguh sulit membuat tafsir sebuah nubuwatan. Menafsirkan sebuah nubuwatan tidak hanya sekedar mengandalkan ilmu tata bahasa, prosa, puisi, dan ilmu pengetahuan lainnya, akan tetapi juga membutuhkan kesucian hati sebagaimana dikatakan Al-Qur’an:
Tiadalah yang menyentuh (hakikatnya) melainkan mereka yang disucikan (Surah Al-Waqi’ah; 56:79)
Al-Ghazali menyadari, bahwa ilmu pengetahuan pada saat itu belum mampu memberikan penjelasan dan pembenaran terhadap tafsir ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis (khususnya yang bersifat mutasyabihat). Oleh karena itu beliau berusaha mencari tahu apa yang tersirat dari berbagai nubuwatan yang tersurat di dalam Al-Qur’an atau hadis melalui perenungan dan kesendirian (seclusion) di atas menara sebuah mesjid di Tus - selama kurang lebih sepuluh tahun. Sudah barang tentu hasil renungan dan pembenaran ilmiah yang disampaikan Al-Ghazali sulit diterima oleh arus utama oleh karena pikiran mereka telah terkukung oleh paradigma lama, yaitu ’paradigma limbic.’ Paradigma limbic menyenangi mitos, dogma, dan taqlid. Mitos, dogma dan taqlid adalah pekerjaan sangat mudah dibandingkan mempelajari sains dan merenung selama sepuluh tahun.
Sebagai seorang ilmuwan Al-Ghazali menginginkan pembuktian semua rahasia alam ini. Jadi, menurut Al-Ghazali sains adalah sebuah piranti yang sangat berharga untuk dapat membuka tabir rahasia ayat-ayat suci Al-Qur’an. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika tulisan beliau penuh dengan logika, tanya-jawab dan hubungan sebab-akibat, semacam pertanyaan yang sering diberikan dalam test masuk pergurunan tinggi di negara-negara maju – test potensi akademik (TPA).  
Dalam dunia sains, khususnya dokter akhli kandungan yang hidup pada abad ke 10, 15, dan 21 akan melihat proses inseminasi sebagai sesuatu hal yang berbeda. Penjelasan tentang proses pembuahan dan perkembangan bayi di dalam rahim juga dipahami berbeda oleh Imam Syafii maupun Imam Al-Ghazali. Namun, sebagian besar agamawan abad ke 21 sekarang masih mempertahankan pemahaman secara literal sebagaimana yang tertulis di dalam Al-Qur’an:
”.... sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging . . . . . (Surah Al-Hajj; 22:5).
Al-Ghazali menyadari bahwa kitab Ihya al-Ulum al-Din terlampau tebal untuk dibaca oleh orang awam. Hal ini akan berdampak pada sulitnya pesan-pesan beliau sampai kepada khalayak ramai. Oleh sebab itu dibuatlah ringkasannya dengan judul Kîmyãye Saãdat (the Alchemy of Happiness). Al-Ghazali mengingatkan kepada umat Islam untuk menjadikan bidang matematik dan kedokteran sebagai sains yang wajib dipelajari oleh masyarakat  - pembuka jalan untuk menemukan kebenaran hakiki. Prinsip dasar para ilmuwan adalah ’seek and thou will find’, atau carilah dan engkau akan menemukannya. Namun demikian penemuan bukti nyata terjadi sejalan dengan perkembangan  sains dan teknologi”, kata Dr. Syafari Soma, seorang psikiater dari Bandung.
Sepeninggal Imam Al-Ghazali dunia Islam yang pernah menjadi sumber ilmu pengetahuan dunia selama lebih dari tiga abad berakhir sudah. Hal ini sesuai dengan nubuwatan Nabi Muhammad s.a.w:
“Abad terbaik adalah dikala aku hidup (abad I Hijrah), kemudian abad berikutnya (abad II Hijrah), kemudian abad setelah itu” (abad III Hijrah) (Tirmidzi dan Bukhari, Kitab-us-Syahadat).
Kemunduran Islam dalam bidang sains dan teknologi mengembalikan umat Islam  umumnya dan bangsa Arab khususnya ke peradaban limbic. Hal ini terjadi karena kekuasaan para agamawan ortodoks menjadi sedemikian dominan dan merata di dalam sistem kehidupan umat Islam. Al-Qur’an dalam bahasa simbolik yang indah menyampaikan pesan berkenaan dengan akan datangnya masa kegelapan bagi umat Islam:
“Dia yang mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian naik (kembali) kepada-Nya dalam satu hari yang hitungan lamanya seribu tahun menurut hitungan kamu” (Surah As Sajdah; 32:5).
Ayat ‘Dia yang mengatur urusan dari langit ke bumi’..... merujuk pada masa ketika Tuhan berkenan memberikan kejayaan kepada umat Islam yang lamanya lebih dari tiga abad. Setelah itu Tuhan telah membuat grand design akan terjadinya kemunduran umat Islam karena kesalahan mereka sendiri selama, ...... ‘satu hari yang hitungan lamanya seribu tahun menurut hitungan kamu’.
Dalam keadaan pudarnya semangat meneliti dan berijtihad maka keinginan untuk menemukan kebenaran hakiki dari sumber generik pengetahuan Islam, Al-Qur’an dan hadis terhenti.
Sebagai contoh, Nabi Muhammad s.a.w pernah berkata kepada para sahabatnya untuk mencuci tangan sebelum makan karena ditangan yang kotor banyak terdapat ‘setan’. Umat Islam tidak berkeinginan untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan setan? Nabi Muhammad s.a.w tidak menjelaskan secara rinci arti kata setan karena kosa kata (vocabulary) yang dapat mendeskripsikan kata tersebut belum ada pada masa itu.
Pernyataan ini baru terjawab secara ilmiah kurang lebih seribu tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1676, ketika seorang ilmuwan amatir berkebangsaan Belanda bernama Antonie van Leeuwenhoek (1632-1723) menemukan berbagai jasad renik melalui mikroskop sederhana yang dibuatnya. Bahwa setan yang dimaksud oleh Nabi Muhammad s.a.w ternyata makhluk hidup mikro sejenis bakteri. Van Leeuwenhoek kemudian dikenal sebagai Bapak Mikrobiologi.
Dengan penemuan mikroorganisme hidup yang tidak kasat mata ini maka keyakinan arus utama agamawan khususnya yang mempercayai teori generatio spontanea (spontaneous generation) atau sesuatu terjadi dengan sendirinya dapat dipatahkan. Sebagai catatan, pemahaman  agamawan tentang ’mantera’ kun fayaa kun kurang lebih menyerupai generatio spontanea. Padahal, berdasarkan kenyataan semua kejadian di alam ini terjadi  melalui proses yang berlangsung sesuai dengan hukum alam atau Hukum Tuhan yang pasti.  
Para sahabat pada masa itu tidak mempertanyakan apa dan siapa yang dimaksud dengan setan karena dua alasan. Pertama, era sains dan teknologi belum mendukung untuk memahami pembenaran ilmiah. Kedua, sebagian besar para sahabat percaya secara penuh pernyataan seorang nabi dan berusaha mematuhi perintahnya tanpa memahami makna yang sebenarnya.  Mematuhi perintah seorang nabi bagi para pengikut agama yang setia adalah wajib hukumnya dan merupakan ibadah. Selain itu, sebagian sahabat yang kurang ilmunya namun dipenuhi keyakinan yang kuat terhadap kebenaran setiap ucapan dan tindakan beliau tidak ingin mempertanyakan lebih jauh tentang makhluk setan. Hadis tersebut kemudian diwariskan kepada anak dan cucunya dan pada akhirnya dituliskan oleh seseorang. Walaupun hadis tersebut tidak hilang namun tidak juga dipahami maknanya oleh sebagian besar umat Islam karena mereka menjauhi sains. 
Umat Islam saat ini hanya mengenal Nabi Muhammad s.a.w melalui cerita-cerita dalam hadis yang kemudian diterjemahkan dan ditafsirkan oleh seseorang dari masa ke masa. Tafsir dari seseorang pada abad ke 10 belum tentu merupakan jawaban untuk abad ke 15. Demikian juga, tafsir seseorang pada abad ke 15 belum tentu sepenuhnya benar ketika dibaca oleh manusia yang hidup pada abad ke 21. Selain itu oleh karena sebagian besar ulama tidak menafsirkan dan mengupas pernyataan hadis tersebut dengan memanfaatkan penemuan para ilmuwan, akibatnya pemahaman modern tentang siapa dan apa itu setan tidak pernah tertanam ke dalam mindset publik. Di samping itu, para ulama juga kurang memberikan contoh praktis mencuci tangan sebelum makan, sehingga keyakinan tersebut hari demi hari semakin tipis dan tidak lagi dipandang sebagai bagian penting dari ajaran Islam.
Oleh karena tipisnya keyakinan yang berkaitan dengan hadis ini maka tidak pernah terjadi kericuhan atau pertentangan untuk mempertahankannya. Sebagian ulama mengatakan bahwa hadis ini hanya berurusan dengan masalah kesehatan - bukanlah sebuah akidah. Akidah yang dipandang penting dan mutlak adalah seperti keyakinan finalitas Nabi Muhammad s.a.w (tidak ada lagi nabi setelah Muhammad s.a.w), mukjizat nabi-nabi seperti Nabi Isa a.s dapat menghidupkan orang mati, Nabi Isa a.s masih hidup di langit dan akan turun dengan badan kasarnya dari langit, Nabi Musa a.s dapat membelah laut, Nabi Muhammad s.a.w naik ke langit menaiki binatang bernama buraq, dan berbagai cerita-cerita ajaib di dalam kitab suci. Cerita-cerita ajaib tersebut ditanamkan secara massal kepada umat beragama secara turun temurun selama lebih dari seribu tahun sehingga menumbuhkan keyakinan dengan kekuatan yang sangat luar biasa. 
Pada dasarnya keyakinan manusia terjadi karena sel-sel syaraf (neuron) manusia secara bertahap, sedikit demi sedikit, menyimpan memori ke dalam limbic nya, dan setelah tertanam dalam waktu yang lama akan terbentuk keyakinan inti (core beliefs) atau sering disebut sebagai schemata. Dalam bahasa neuroscience dapat dikatakan bahwa  schemata adalah keyakinan yang telah melekat (embeded) dalam benak manusia. Dogma agama seringkali melekat demikian kuatnya pada seseorang atau sekelompok orang sehingga menjadi sebuah keyakinan yang irasional.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, keyakinan inti dibangun dari pengalaman hidup sejak kecil, yang menjadi piranti lunak (software) dalam proses persepsi manusia. Oleh karena setiap manusia memiliki tingkat kematangan dan kemampuan menyimpan memori yang berbeda, maka dengan sendirinya setiap individu akan mencapai suatu tingkatan keadaan diri yang berbeda pula. 

Dikutip dari buku “AGAMA YANG MEMBEBASKAN”
Karya: DR Soekmana Soema


[1] En.wikipedia.org dan www.groups.dcsw.st.and.ac.uk
[2] En.wikipedia.org dan www.indopedia.org
[3]) Firaun yang tenggelam adalah Merneptah, anak Ramses II. Ramses II yang berkuasa 1279-1213 Sebelum Masehi adalah ayah angkat Nabi Musa a.s (Jew. Enc, jilid 9 hal 500 dan Enc.Bib, pada kata “Pharaoh” dan “Egypt”).
[4]) L'Exode (Exodus), 1968, page 73, Pub. Les Editions du Cerf, Paris.