Senin, 23 Juli 2012

SURI TAULADAN


Kehidupan Rasulullah Bagaikan Kitab Terbuka[1]

Kehidupan Pendiri Agung Agama Islam adalah bagaikan kitab terbuka yang pada tiap-tiap bagiannya kita menjumpai penjelasan dan perincian yang sangat menarik. Tidak ada Guru atau Nabi lain yang kehidupannya direkam begitu lengkapnya dan yang karenanya begitu mudah dipelajari seperti kehidupan Rasulullah s.a.w.. Memang banyaknya fakta-fakta yang tercatat itu telah membuka kesempatan untuk celaan-celaan jahat. Tetapi, menjadi kenyataan pula bahwa sesudah celaan-celaan itu diselidiki dan dibuktikan kekeliruannya, kepercayaan dan kecintaan, sebagai akibat dan hasilnya, tidak mungkin ditimbulkan oleh kehidupan siapa pun. Kehidupan-kehidupan yang gelap dan samar bebas dari celaan, tetapi semuanya gagal menimbulkan keyakinan dan kepercayaan dalam diri para pengikutnya. Beberapa kekecewaan dan kesukaran pasti tetap ada. Tetapi kehidupan yang begitu banyak diriwayatkan dengan sangat terinci seperti kehidupan Rasulullah s.a.w. memaksa kita merenung dan akhirnya timbul keyakinan; setelah celaan-celaan dan tuduhan-tuduhan palsu dilenyapkan, kehidupan yang demikian itu membangkitkan cinta kita yang penuh dan kekal. Tetapi, hendaknya menjadi jelas bahwa riwayat hidup yang demikian terbuka dan kayanya itu tidak mungkin diceritakan dengan singkat. Yang dapat diusahakan hanya sekelumit belaka. Tetapi pandangan sekejap mata pun tetap sangat berharga. Seperti kami katakan tadi, sebuah Kitab Wahyu hanya sedikit memberi daya tarik kecuali jika mempelajarinya itu dilengkapi dengan pengetahuan tentang Guru si pembawanya. Pokok ini telah diabaikan oleh kebanyakan agama. Agama Hindu, umpamanya, menjunjung tinggi Weda, tetapi tentang risyi-risyi yang menerima Weda dari Tuhan, kita tidak dapat menceriterakan apa-apa.
Keperluan melengkapi suatu ajaran agama dengan riwayat hidup pembawanya agaknya tidak dirasakan penting oleh tokoh-tokoh Hindu. Ulama-ulama Yahudi dan Kristen, pada lain pihak, tidak ragu-ragu memburuk-burukkan nabi-nabi mereka sendiri. Mereka lupa bahwa wahyu yang telah gagal dalam memperbaiki nama baik siapa yang menerimanya, tidak banyak lagi gunanya untuk orang-orang lain. Jika penerima wahyu sukar diketahui, maka timbullah pertanyaan, mengapa Tuhan telah memilih dia? Haruskah Dia berbuat demikian? Tak ada persangkaan yang nampaknya cocok. Mengira bahwa wahyu itu tidak dapat memperbaiki nama baik mereka yang menerimanya, sama tidak masuk akal seperti persangkaan bahwa Tuhan tak punya pilihan lagi kecuali memilih penerima wahyu yang tak punya kemampuan untuk menerima sebagian wahyu-wahyu-Nya. Walaupun demikian, pikiran dan persangkaan semacam itu telah menyelinap ke dalam berbagai agama, barangkali karena jarak waktu yang memisahkan mereka dari para Pendirinya atau karena kecerdasan otak manusia sampai diturunkannya Islam tidak sanggup mengetahui kesesatan pikiran semacam itu.

Betapa pentingnya dan berharganya soal menghubungkan sebuah Kitab Suci dengan Guru yang membawanya, sudah disadari sangat dini dalam Islam. Salah seorang dari istri-istri Rasulullah s.a.w. ialah Aisyah, yang masih muda sekali. Usia beliau kira-kira13-14 tahun ketika beliau dinikahkan kepada Rasulullah s.a.w. Kira-kira delapan tahun beliau hidup dalam ikatan nikah dengan Rasulullah s.a.w.. Ketika Rasulullah s.a.w. wafat, usia istri beliau baru 22 tahun. Beliau masih muda dan buta huruf. Walaupun demikian, beliau tahu benar bahwa suatu ajaran tak dapat dipisahkan dari Guru yang membawanya. Ketika beliau ditanya tentang akhlak dan kepribadian Rasulullah s.a.w., beliau menjawab segera bahwa akhlak Rasulullah s.a.w. adalah Al-Qur’an (Abu Daud). Apa yang diamalkan Rasulullah s.a.w. adalah apa yang diajarkan oleh Al-Qur’an. Pula apa yang diajarkan oleh Al-Qur’an adalah tak lain selain apa yang diamalkan beliau. Telah menambah kecemerlangan Rasulullah s.a.w. bahwa seorang wanita muda yang buta huruf sanggup menangkap suatu kebenaran yang tidak tertangkap oleh sarjana-sarjana Hindu, Yahudi, dan Kristen. Siti Aisyah r.a. melukiskan suatu kebenaran yang luhur dan penting itu dalam kalimat yang pendek dan sederhana; seorang Guru yang benar dan jujur tidak mungkin mengajarkan sesuatu tetapi melakukan lain lagi, atau mengerjakan sesuatu tetapi mengajarkan lain lagi. Rasulullah s.a.w. adalah Guru yang benar dan jujur. ltulah yang sesungguhnya ingin dikatakan Siti Aisyah r.a.. Rasulullah s.a.w. melakukan apa yang diajarkan, dan beliau mengajarkan apa yang dilakukan. Untuk mengetahui beliau, kita harus mengetahui Al-Qur’an dan untuk mengenal Al-Qur’an kita harus mengenal pula Rasulullah s.a.w..

Arabia Saat Rasulullah Lahir

Rasulullah dilahirkan di Mekkah dalam bulan Agustus 570 Masehi (Atau menurut penyelidikan mutakhir, Rasulullah lahir dalam bulan April 571). Nama yang diberikan kepada beliau adalah Muhammad yang berarti, Yang Terpuji. Untuk mengenal kehidupan dan watak beliau, kita harus mengetahui keadaan yang berlaku di Arabia pada waktu beliau dilahirkan. Ketika beliau lahir, seluruh Arabia, dengan sedikit kekecualian di sana-sini, menganut bentuk agama musyrik atau bertuhan banyak. Bangsa Arab itu mengaku keturunan Nabi Ibrahim a.s.. Mereka tahu benar bahwa Nabi Ibrahim a.s. itu Guru agama yang berpegang pada Tauhid. Walaupun demikian, mereka tetap berpegang pada polytheisme dan melakukan perbuatan-perbuatan musyrik. Sebagai pembelaan diri, mereka mengatakan bahwa beberapa manusia sangat menonjol perhubungannya dengan Tuhan. Syafaat (intersesi) mereka bagi orang lain diterima Tuhan. Tuhan adalah Wujud Yang Maha Luhur lagi Maha Agung. Bagi orang-orang kebanyakan sukar dapat sampai kepada Tuhan. Hanya manusia sempurna dapat berhubungan langsung dengan Tuhan. Oleh karena itu, orang-orang biasa harus mempunyai orang lain untuk menjadi perantara bagi kepentingan mereka sebelum mereka dapat meraih sendiri perhubungan langsung dengan Tuhan, dan menarik keridhaan dan pertolongan-Nya. Dengan pendirian demikian mereka berhasil memadukan rasa takzim kepada Nabi Ibrahim a.s. dengan ide kemusyrikan mereka. Mereka mengatakan bahwa Nabi Ibrahim a.s. itu seorang orang suci lagi mulia. Beliau dapat mencapai perhubungan dengan Tuhan tanpa perantara. Tetapi orang-orang Mekkah kebanyakan tidak mungkin mencapai Tuhan tanpa perantaraan orang-orang suci dan saleh. Untuk mencari dan mendapatkan perantaraan ini, kaum Mekkah telah membuat patung beberapa orang suci dan saleh; mereka menyembah patung-patung itu dan kepada serta lewat patung-patung itu mereka menyampaikan kebaktian untuk meraih ridha Ilahi. Pendirian demikian itu primitif lagi tidak masuk akal, selain itu penuh dengan cacat dan kelemahan. Tetapi, kaum Mekkah tidak menaruh rasa khawatir akan hal-hal itu. Sejak lama sekali mereka tidak dikunjungi Guru yang berpegang pada prinsip Tauhid Ilahi. Dan, sekali kemusyrikan menyelinap dan berakar dalam suatu masyarakat, maka menyebarlah kepercayaan itu tanpa mengenal batas dan tepi. Jumlah berhala mulai meningkat banyaknya. Pada saat kelahiran Rasulullah s.a.w., di dalam Ka'bah — rumah peribadatan yang didirikan oleh Nabi Ibrahim a.s. — konon ada sejumlah 360 buah berhala. Agaknya kaum Mekkah mempunyai sebuah berhala untuk tiap-tiap hari tahun Qomariah. Di tempat-tempat lain dan pusat-pusat lain terdapat berhala lain sehingga kita dapat mengatakan bahwa tiap-tiap daerah bagian Arabia telah tenggelam di dalam kemusyrikan. Bangsa Arab sangat gemar akan ragam budaya berpidato. Perhatian mereka sangat besar terhadap bahasa lisan dan amat bergairah untuk menggalakkannya. Namun, mereka sedikit saja mempunyai hasrat maju dalam bidang ilmu. llmu sejarah, ilmu bumi, matematika, dan sebagainya sama sekali tidak mereka kenal. Namun demikian, karena mereka merupakan penghuni padang pasir dan karena terpaksa harus mampu mengetahui jalan di padang pasir, tanpa bantuan tanda-tanda, mereka mengembangkan perhatian besar kepada ilmu falak (astronomi). Di seluruh negeri Arab tidak terdapat sebuah sekolah pun waktu itu. Konon, di Mekkah hanya terdapat satu-dua orang yang pandai baca tulis.
Dilihat dari segi akhlak, bangsa Arab merupakan kaum yang memiliki watak yang berlawanan. Mereka menderita cacat akhlak yang luar biasa, namun di samping itu mereka memiliki sifat-sifat yang terpuji. Mereka itu pemabuk-pemabuk berat. Untuk mereka mabuk-mabuk dan kehilangan kesadaran karena mabuk itu suatu perbuatan terpuji, bukan dosa. Anggapan mereka mengenai orang yang sopan ialah orang yang sering mengundang kawan-kawan dan tetangga pada perjamuan lomba minum arak. Tiap-tiap hartawan hendaknya mengadakan perjamuan minum arak lima kali sehari. Perjudian juga merupakan kegemaran mereka dan mereka telah menjadikannya suatu olah seni. Mereka tidak berjudi untuk menjadi kaya. Pemenangpemenang diharapkan menjamu kawan-kawan. Dalam waktu peperangan, dana-dana dihimpun lewat perjudian. Sekarang pun terdapat penyelenggaraan-penyelenggaraan lotre untuk mengumpulkan dana guna peperangan. Organisasi-organisasi itu telah dijelmakan di zaman kita ini oleh bangsa-bangsa Eropa dan Amerika. Tetapi, mereka hendaknya menyadari bahwa dalam hal-hal itu mereka hanya meniru-niru bangsa Arab. Jika peperangan meletus, suku-suku Arab berkumpul dan menyelenggarakan pesta perjudian. Siapa senang dan mendapat keuntungan, dialah yang harus menanggung bagian terbesar biaya perang. Kemewahan-kemewahan hidup beradab tidak dikenal oleh orang-orang Arab. Mereka cukup mendapatkan kepuasan dalam minum-minum dan berjudi. Kesibukan mereka yang utama adalah perdagangan dan untuk itu mereka mengirimkan kafilah-kafilah mereka sampai ke tempat-tempat yang jauh-jauh. Dengan cara demikian mereka berniaga dengan Abessinia, Siria, dan Palestina. Mereka mempunyai pula hubungan perdagangan dengan India. Hartawan-hartawan mereka sangat menggemari pedang-pedang buatan India. Keperluan bahan pakaian mereka terutama dipenuhi oleh negeri-negeri Yaman dan Siria. Pusatpusat perdagangan terletak di kota-kota. Bangsa Arab lainnya, kecuali Yaman dan beberapa daerah bagian utara, terdiri atas orang-orang Badui.
Tak ada pemukiman-pemukiman yang tetap dan tidak ada tempat-tempat permanen yang berpenduduk. Berbagai suku bangsa telah membagi-bagi negeri di antara mereka sehingga anggota-anggota suku dengan bebas dapat bergerak di daerah bagian mereka. Jika persediaan air di suatu tempat habis, mereka bergerak ke tempat lain dan untuk sementara menetap di situ. Kekayaan mereka terdiri dari domba, kambing, dan unta. Dari bulu-bulu mereka membuat pakaian, dan dari kulit dibuat kemah-kemah. Selebihnya dijual-belikan di pasar. Emas dan perak tidak asing bagi mereka, tetapi tentu saja merupakan milik yang sangat langka. Orang miskin dan rakyat jelata membuat perhiasan dan mata uang dari kulit kerang dan bahan-bahan yang harum. Biji semangka dibersihkan, dikeringkan dan dirangkaikan menjadi kalung. Kejahatan dan perbuatan asusila yang bermacam-macam coraknya merajalela. Pencurian jarang terjadi, tetapi perampokan adalah hal yang lazim. Menyerang dan saling merampas dipandang hak turun-temurun. Tetapi, di samping itu, mereka sangat setia pada janji; di dalam segi ini mereka lebih dari pada bangsa lain. Jika seseorang pergi mendapatkan seorang pemimpin atau suatu suku yang berkuasa dan minta perlindungan, maka pemimpin atau suku itu merasa berkewajiban melindungi orang itu. Jika hal itu tidak diberikan, kehormatan suku itu jatuh di mata seluruh Arab. Ahli syair mendapat pengaruh dan penghargaan yang besar. Mereka dimuliakan bagaikan pemimpin-pemimpin bangsa. Pemimpin-pemimpin diharapkan mempunyai kesanggupan besar berpidato, bahkan pula mampu menggubah syair-syair. Keramahan terhadap tamu dipandang sebagai sifat kemuliaan bangsa. Seorang musafir yang tersesat diterima sebagai tamu terhormat oleh suatu suku. Ternak terbaik akan disembelih untuk menjamunya dan penghormatan sebaik-baiknya diperlihatkan. Mereka tidak menghiraukan siapa yang datang berkunjung. Untuk mereka cukup bahwa ada tamu datang. Kunjungan itu dipandang sebagai sesuatu yang menambah nilai kedudukan dan wibawa suku. Maka menjadi kewajiban suku itu untuk memuliakan tamu. Penghormatan terhadapnya berarti menghormati diri sendiri. Wanita tak mempunyai kedudukan dan hak dalam masyarakat Arab ini. Di antara mereka ada yang beranggapan bahwa membunuh anak perempuan adalah perbuatan yang terhormat. Tetapi, tidak benar kalau menyangka bahwa pembunuhan anak perempuan itu dilakukan besar-besaran. Kebiasaan yang sangat berbahaya itu tak mungkin berkembang di seluruh negeri. Hal semacam itu berarti lenyapnya bangsa. Hal yang benar ialah, di Arabia atau demikian pula di India atau negeri lain tempat pembunuhan anak pernah dilakukan, kebiasaan itu hanya terbatas pada beberapa keluarga. Keluarga-keluarga Arab yang melakukan hal itu mempunyai anggapan yang berlebih-lebihan tentang kedudukan mereka dalam masyarakat atau terpaksa oleh dorongan-dorongan lain. Mungkin mereka tidak dapat menemukan calon menantu yang pantas untuk anak-anak perempuan mereka; dengan kesadaran itu mereka membunuh bayi-bayi perempuan mereka. Kejahatan pranata (adat) ini terletak pada kebiadabannya dan kebuasannya, bukan dalam akibat yang diderita oleh penduduk negeri. Macam-macam cara dilakukan guna pembunuhan bayi perempuan itu, diantaranya mengubur hidup-hidup atau dengan jalan mencekik. Hanya ibu kandung yang dipandang sebagai ibu di dalam masyarakat Arab. Ibu tiri tidak dipandang sebagai ibu dan tidak ada peraturan yang melarang seorang anak laki-laki mengawini ibu tirinya setelah bapaknya meninggal. Beristrikan banyak adalah suatu kelaziman dan tidak ada batas jumlah istri yang boleh dikawin oleh seorang laki-laki. Lebih dari satu saudara sekandung boleh dikawin oleh seorang laki-laki pada waktu yang sama.
Perlakuan yang paling buruk dilakukan oleh satu pihak terhadap yang lain, dan sebaliknya, dalam peperangan. Jika kebencian meluapluap, mereka tidak ragu-ragu membelah badan prajurit-prajurit yang terluka, mengambil suatu bagian dan memakannya sebagai cara yang buas memakan daging sesama manusia. Mereka tidak segan-segan mencincang badan musuh. Memotong hidung atau telinga atau mencukil mata adalah cara-cara aniaya dan keganasan yang biasa mereka lakukan. Perbudakan begitu meluas. Suku-suku lemah dijadikan budak. Seorang budak tak mempunyai hak, tiap tuan berbuat sesuka hatinya terhadap budak-budaknya. Tidak ada tindakan dapat diambil terhadap tuan yang menganiaya budaknya. Seorang tuan dapat membunuh budaknya tanpa dituntut pertanggung-jawaban. Jika seorang tuan membunuh budak orang lain, hukumannya bukan hukuman mati. Apa yang diwajibkan kepadanya hanya berupa penggantian kerugian yang layak kepada pihak tuannya yang dirugikan. Budak wanita dipakai untuk pemuasan seksual. Anak yang lahir dari perhubungan demikian diperlakukan sebagai budak. Budak wanita yang sudah menjadi ibu, tetap menjadi budak. Dalam bidang kebudayaan dan peradaban, bangsa Arab merupakan kaum yang sangat terbelakang. Belas kasih dan tenggang rasa terhadap satu sama lain tidak mereka ketahui. Wanita merupakan bagian masyarakat yang paling buruk kedudukannya. Tetapi, di samping sifat-sifat buruk itu, bangsa Arab memiliki sifat terpuji juga. Keberanian, umpamanya, kadangkala mencapai peringkat mutu yang sangat tinggi. Di dalam kaum demikianlah Rasulullah s.a.w. dilahirkan. Ayahnya bernama Abdullah, meninggal sebelum Rasulullah s.a.w. lahir.
Maka beliau dan ibunya, Aminah, dipelihara oleh kakeknya yang bernama Abdul Mu’talib. Bayi Muhammad disusui oleh wanita kampung yang tinggal dekat Ta'if. Menyerahkan bayi kepada orang kampung untuk disusui, kemudian memeliharanya, mengajar bicara, dan menanam kebiasaan berlatih untuk menjaga kesehatan badan, merupakan kebiasaan pada zaman itu. Pada usia Muhammad enam tahun, ibunda wafat dalam perjalanan dari Medinah ke Mekkah, dan harus dikebumikan di perjalanan. Anak itu dibawa ke Mekkah oleh seorang khadimah, lalu menyerahkannya kepada kakeknya. Ketika berumur delapan tahun, kakek pun meninggal. Maka paman beliau yang bemama Abu Thalib menjadi pemeliharanya sebagai amanat terakhir kakeknya. Rasulullah s.a.w. dua-tiga kali mendapat kesempatan mengadakan perjalanan keluar Arabia. Di antaranya, beliau pada usia dua belas tahun ikut serta dengan Abu Thalib, pergi ke Siria. Agaknya, perjalanan ini hanya sejauh kotakota sebelah Tenggara Siria (Suriah), sebab dalam catatan sejarah perjalanan itu tidak disebut nama-nama tempat seperti kota Yerusalem. Mulai saat itu sampai tumbuh dewasa beliau tetap tinggal di Mekkah. Dari masa kanak-kanak beliau biasa bertafakkur dan berkhalwat. Dalam pertengkaran dan permusuhan antar orang-orang lain beliau tak pernah ikut campur, kecuali dengan tujuan mendamaikan mereka. Diriwayatkan bahwa suku-suku Mekkah dan sekitarnya, karena jemu mengalami
pertumpahan darah yang berlarut-larut, mengambil keputusan untuk mendirikan suatu perkumpulan dengan tujuan memberikan pertolongan dan perlindungan kepada korban perlakuan aniaya dan tidak adil. Ketika Rasulullah s.a.w. mendengar adanya usaha itu, segera beliau dengan gembira menggabungkan diri. Anggota perkumpulan itu mengadakan kegiatan seperti berikut:
Mereka akan menolong orang yang aniaya dan akan mengembalikan hak-hak mereka selama tetes air terakhir masih ada di lautan. Jika tak mereka lakukan demikian, mereka akan mengganti kerugian korban itu dari harta milik mereka sendiri (Raud-al-Unuf oleh Imam Suhaili).

Agaknya tidak pernah ada anggota lain dari perkumpulan itu merasa terpanggil untuk melaksanakan kegiatan yang sudah disepakati oleh setiap anggota perkumpulan itu. Kesempatan datang kepada Rasulullah s.a.w. ketika beliau mengumumkan tugas risalat beliau. Musuh yang paling besar, ialah Abu Jahal, seorang pemuka kabilah di Mekkah. Ia menganjurkan pemboikotan sosial dan penghinaan umum terhadap Rasulullah s.a.w.. Pada saat itu datang seseorang orang kampung dari luar Mekkah. Abu Jahal berhutang uang kepada orang itu,
tetapi ingkar melunasi. Hal itu diceriterakan kepada orang-orang Mekkah. Beberapa pemuda, semata-mata dengan niat jahat, menganjurkan minta pertolongan kepada Rasulullah s.a.w.. Mereka menyangka Rasulullah s.a.w. akan menolak membantu karena ada bahaya permusuhan umum terhadap beliau dan terutama takut akan perlawanan Abu Jahal. Jika Rasulullah s.a.w. menolak membantu orang dusun itu, beliau akan dituduh melanggar janji beliau kepada perkumpulan itu. Jika sebaliknya Rasulullah s.a.w. menolak dan menjumpai Abu Jahal untuk menuntut pembayaran hutangnya, pasti Abu Jahal akan mengusir beliau dengan penghinaan dan ejekan. Orang dusun itu menemui Rasulullah s.a.w.. Beliau tanpa ragu-ragu sedikitpun bangkit, lalu pergi bersama-sama dengan orang dusun itu dan mengetuk pintu rumah Abu Jahal. Abu Jahal keluar dan melihat penagih hutangnya berdiri di samping Rasulullah s.a.w. yang menyebut hutangnya dan meminta pembayaran. Abu Jahal sangat kaget dan tanpa membuat dalih apa pun, membayar sekaligus. Ketika para pemimpin Mekkah lainnya mendengar kejadian itu, mereka menyesali Abu Jahal dengan mencela kelemahan yang telah dibuktikannya, dan sikap yang bertentangan dengan bualannya. Dia yang menganjurkan boikot sosial terhadap Rasulullah s.a.w. tetapi malah ia sendiri menerima dan tunduk kepada perintah Rasulullah s.a.w. dan segera membayar hutangnya atas usul Rasulullah s.a.w.. Untuk membela diri Abu Jahal berkata bahwa tiap-tiap orang lain pun akan berbuat seperti dia. Dikatakan kepada mereka bahwa pada saat Rasulullah s.a.w. ada di ambang pintunya, ia melihat juga dua ekor unta buas di kanan-kiri Rasulullah s.a.w. dan siap menyerangnya. Kita tidak dapat menerangkan macam apa pengalaman itu. Apakah hal itu penampakan mukjizat untuk menakut-nakuti Abu Jahal atau, apakah pengaruh kehadiran Rasulullah s.a.w. yang sangat berwibawalah yang menimbulkan pemandangan khayal itu? Seorang yang dibenci dan dimusuhi oleh seluruh kota telah berani pergi seorang diri menemui pemimpin kota dan menuntut pembayaran hutangnya. Mungkin kejadian yang sama sekali tak terduga sebelumnya itu mengejutkan dan menakutkan Abu Jahal, dan sejenak membuat Abu Jahal lupa akan apa yang disumpahkannya terhadap Rasulullah s.a.w. dan mendorong dia berbuat menurut anjuran Rasulullah s.a.w. (Hisyam).

Kabar Ghaib Agung Menjadi Sempurna

Saat berperang telah mendekat, Rasulullah s.a.w. keluar dari kemah kecil, di sana beliau lama mendoa, lalu beliau mengumumkan: “Musuh pasti akan binasa dan melarikan diri.” Kata-kata itu diwahyukan kepada Rasulullah s.a.w. selang beberapa waktu sebelum itu di Mekkah. Jelas wahyu itu berhubungan dengan perang ini. Ketika kekejaman Mekkah mencapai puncaknya dan kaum Muslimin sedang berhijrah ke tempat-tempat mereka dapat hidup dengan aman dan damai, Rasulullah s.a.w. menerima wahyu dari Allah:

Dan, sesungguhnya telah datang kepada kaum Firaun, para pemberi peringatan. Mereka mendustakan Tanda-tanda Kami semuanya, maka Kami sergap mereka dengan sergapan Dzat Yang Maha Perkasa. Maha Kuasa. Apakah orang-orang kafir kamu lebih baik daripada orang-orang sebelum kamu? Atau apakah ada bagimu jaminan kebebasan di dalam kitab-kitab terdahulu? Atau apakah mereka berkata, “Kami golongan yang bersatu, yang menang?” Golongan itu akan segera dikalahkan dan akan membalikkan punggung mereka, melarikan diri. Bahkan Saat itu telah dijanjikan kepada mereka; dan Saat itu paling mengerikan dan paling pahit. Sesungguhnya, orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan dan mengidap penyakit gila. Pada hari ketika mereka akan diseret ke dalam Api bersama-sama pemuka mereka. Dikatakan kepada mereka, “Rasakanlah sentuhan azab neraka.” (54:42-49).

Ayat-ayat itu bagian dari Surah Al-Qamar dan menurut semua riwayat, Surah itu diturunkan di Mekkah. Para alim-ulama Islam menempatkan turunnya wahyu itu di antara tahun kelima dan sepuluh Nabawi, yaitu, sekurang-kurangnya tiga tahun sebelum hijrah. Kemungkinan besar wahyu itu diturunkan delapan tahun sebelum Hijrah. Sarjana-sarjana Eropa juga sepakat dengan pendapat ini. Menurut Noldeke, seluruh Surah ini diturunkan sesudah tahun kelima Nabawi. Wherry memandang waktu itu agak terlalu dini. Menurut dia, Surah itu termasuk tahun keenam atau ketujuh sebelum Hijrah atau sesudah Nabawi. Pendek kata, para alim-ulama Islam dan sumber-sumber bukan-Islam kedua-duanya bersepakat bahwa Surah ini diwahyukan selang bertahun-tahun sebelum Rasulullah dan para Sahabat berhijrah dari Mekkah ke Medinah. Nilai ayat-ayat Makiyyah sebagai ayat-ayat yang mengandung kabar-ghaib sama sekali tidak dapat diragukan atau dibantah. Dalam ayat-ayat ini ada isyarat-isyarat yang jelas mengenai apa yang bakal terjadi pada kaum Mekkah di medan pertempuran Badar. Nasib malang yang akan mereka alami jelas diramalkan. Ketika Rasulullah s.a.w. keluar dari kemah, beliau menyatakan ulang kabarghaib dalam Surah Makiyyah itu. Beliau agaknya ingat kepada ayat-ayat Makiyyah itu waktu beliau berdoa di dalam kemah. Dengan membaca satu dari antara ayat-ayat itu, beliau memperingatkan para Sahabat bahwa saat yang dijanjikan dalam wahyu Makiyyah itu telah datang.
Dan, Saat itu sungguh-sungguh telah datang. Nabi Yesaya (21:13-17) telah mengabar-ghaibkan perihal saat itu. Pertempuran mulai berkecamuk meskipun kaum Muslim belum siap dan orang-orang kafir telah mendengar nasihat agar jangan berperang. Tiga ratus tiga belas orang-orang Islam, kebanyakan tidak punya pengalaman dan tidak pandai berperang, dan hampir semuanya tanpa perlengkapan yang cukup, menghadapi kekuatan yang tiga kali lipat dan semuanya prajurit yang berpengalaman. Dalam beberapa jam saja banyak pemimpin Mekkah terkemuka menemui ajal mereka. Sesuai dengan apa yang dikabarghaibkan oleh Nabi Yesaya, habislah segala kemuliaan Kedar. Balatentara Mekkah melarikan diri pontang-panting dan dalam keadaan kacau-balau meninggalkan mereka yang tewas dan beberapa yang tertawan. Di antara tawanan-tawanan itu terdapat paman Rasulullah s.a.w., Abbas, yang biasanya melindungi Rasulullah s.a.w. di masa beliau tinggal di Mekkah. Abbas terpaksa ikut serta dengan kaum Mekkah dan memerangi Rasulullah s.a.w.. Tawanan lain bernama Abul 'As, mantu Rasulullah s.a.w.. Di antara mereka yang tewas terdapat Abu Jahal, Panglima Tertinggi lasykar Mekkah dan, menurut segala riwayat, merupakan musuh Islam yang terbesar. Kemenangan telah tiba, tetapi menimbulkan rasa yang campur-baur pada Rasulullah s.a.w.. Beliau gembira atas sempurnanya janji-janji Ilahi yang berulang-ulang diturunkan selama jangka waktu empat belas tahun yang lampau. Janji-janji yang telah tercatat dalam beberapa Kitab agama terdahulu. Tetapi, pada saat itu juga beliau bersedih hati atas kemalangan kaum Mekkah. Alangkah menyedihkannya nasib yang mereka jumpai! Jika kemenangan itu diraih oleh orang lain selain beliau, ia akan melompat-lompat kegirangan. Tetapi melihat para tawanan di hadapan beliau, diikat dan dibelenggu, mata beliau dan mata sahabat karib beliau, Abu Bakar, digenangi airmata. Umar, yang di hari kemudian mengganti Abu Bakar menjadi khalifah kedua Islam, menyaksikan hal itu, tetapi ia tidak dapat memahami, mengapa Rasulullah s.a.w. dan Abu Bakar menangisi kemenangan? Umar menjadi bingung. Maka ia memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah s.a.w., “Ya Rasulullah, katakanlah kepadaku, mengapa anda menangis jika Tuhan memberi kemenangan yang begitu besar. Jika kita harus menangis, aku akan ikut menangis atau sedikitnya memperlihatkan muka sedih.” Rasulullah s.a.w. menunjuk kepada nasib malang tawanan-tawanan. Itulah akibat pembangkangan terhadap Tuhan.
Nabi Yesaya berkali-kali menyebut keadilan Nabi itu; ia yang keluar dengan kemenangan dari perang mati-matian. Ihwal keadilannya telah terpamer pada peristiwa berikut ini. Dalam perjalanan pulang ke Medinah, Rasulullah s.a.w. malam harinya beristirahat di perjalanan. Para sahabat setia yang menjaga beliau dapat melihat, betapa Rasulullah s.a.w. tampak resah dan tidak dapat tidur. Segera mereka menerka bahwa hal itu disebabkan oleh karena beliau mendengar rintihan paman beliau, Abbas, yang berbaring di dekat situ diikat dengan kuatnya sebagai tawanan perang. Mereka melonggarkan tali pengikat Abbas. Rintihan Abbas berhenti. Rasulullah s.a.w., tidak terganggu lagi oleh rintihannya, mulai tertidur. Tak lama kemudian beliau bangun dan merasa heran, mengapa tidak lagi terdengar rintihan Abbas. Beliau setengah menyangka bahwa Abbas telah pingsan. Tetapi para sahabat yang menjaga Abbas mengatakan bahwa mereka telah melonggarkan tali pengikat Abbas supaya Rasulullah s.a.w. dapat tidur pulas. “Jangan, jangan!” sabda Rasulullah s.a.w. “Tidak boleh ada ketidakadilan. Jika Abbas masih keluargaku, tawanan-tawanan lainnya pun mempunyai ikatan kekeluargaan dengan orang-orang lain Longgarkan semua tali pengikat mereka atau ikat kembali erat-erat tali pengikat Abbas juga.” Para Sahabat mendengar teguran itu lalu mengambil keputusan untuk melonggarkan ikatan semua tawanan dan mereka sendiri memikul dengan penuh rasa tanggung jawab kewajiban penjagaan. Kepada para tawanan yang pandai baca-tulis dijanjikan
kemerdekaan jika mereka dapat mengajar sepuluh anak laki-laki Mekkah sebagai tebusan kemerdekaan. Mereka yang tak punya siapa-siapa yang dapat membayar tebusan mereka, dapat meraih kemerdekaan mereka atas permohonan sendiri. Dengan membebaskan para tawanan dengan cara serupa itu Rasulullah s.a.w. menyudahi kebiasaan kejam, yaitu, kebiasaan menjadikan tawanan perang sebagai budak belian.

Dikutip oleh:
Redaktur Baleajar Tanjungsari


[1]     Petikkan dari beberapa Sub Bab dalam buku RIWAYAT HIDUP RASULULLAH SAW karya Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad a.t.b.a

Tidak ada komentar:

Posting Komentar