Selasa, 11 September 2012

IDUL FITRI SEMPURNA

Saudara-saudaraku, ijinkan aku menyampaikan Ied Mubarak teriring do’a semoga ibadahmu sekaliyan diterima Allah Ta’ala, amalanmu merupakan jariyah yang memberi manfaat bagi orang lain. Tak lupa aku mohon maaf lahir dan bathin atas segala khilaf dan kesalahan baik yang sengaja dan tak sengaja, tulus dari lubuk hatiku, amin.
Hari Ied biasa dirayakan dengan perasaan suka cita, hal itu dikarenakan oleh perasaan keberhasilan kita semua selama satu bulan penuh melaksanakan peribadatan baik yang wajib maupun yang sunnah selama bulan Ramadhan. Sehingga pantaslah kita semua mengklaim bahwa kita memperoleh kemenangan, namun benarkah kita telah menang? Menang atas peristiwa apa? Marilah kita sedikit merenungkan kembali ‘arti kemenangan’ tersebut, agar kita terhindar dari kriteria orang yang mendustakan agama yang disebabkan oleh perilaku kita sendiri yang disadari maupun tidak disadari.
Allah Ta’ala berfirman “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka celaka bagi orang-orang yang melaksanakan shalat, namun lalai dari shalat (yang sejatinya). Orang-orang yang berbuat riya, dan enggan memberi barang-barang yang berguna bagi orang miskin.” (Al-Maa’un).
Saudara-saudaraku yang baik dan mulia,
Contoh sempurna dapat kita peroleh dari akhlaq mulia Rasulullah Muhammad s.a.w. terutama terkait dengan ‘perhatian terhadap orang-orang miskin’ . Rasulullah s.a.w. senantiasa prihatin memikirkan untuk memperbaiki keadaan golongan yang miskin dan mengangkat taraf hidup mereka di tengah-tengah masyarakat. Sekali peristiwa, ketika beliau sedang duduk-duduk dengan para Sahabat, lewatlah seorang kaya, Rasulullah s.a.w. menanyakan kepada salah seorang dari para Sahabat, apa pendapatnya tentang orang itu. Ia menjawab, “Ia seorang berada lagi terkenal. Jika ia meminang seorang gadis idamannya akan diterima dengan baik dan jika ia menjadi perantara untuk kepentingan seseorang, perantaraannya itu akan diterima.” Tak lama kemudian, lewatlah seorang orang lain yang nampaknya miskin dan tidak mampu. Rasulullah s.a.w. menanyakan kepada Sahabat tadi, bagaimana orang itu menurut pendapatnya. Ia menjawab, “Ya Rasulullah! Ia seorang miskin. Jika ia meminang seorang gadis, permintaannya tidak akan diterima dengan baik dan jika ia menjadi perantara untuk seseorang, perantaraannya akan ditolak dan jika ia berusaha mengajak bercakap-cakap dengan seseorang, ia tidak akan mendapat perhatian.” Setelah mendengar jawaban itu Rasulullah s.a.w. bersabda, “Nilai orang miskin itu jauh lebih tinggi dari nilai sejumlah emas yang cukup untuk mengisi sekalian alam” (Bukhari, Kitabal-Riqaq).
Seorang wanita Muslim biasa membersihkan Mesjid Nabi di Medinah. Rasulullah s.a.w. sudah beberapa hari tidak melihatnya lagi di mesjid dan beliau menanyakan keadaannya. Disampaikan kepada beliau bahwa ia sudah meninggal. Beliau bersabda, “Mengapa aku tidak diberi tahu kalau ia meninggal? Aku pasti akan ikut dalam sembahyang jenazahnya,” dan menambahkan, “Barangkali kalian tidak memandangnya cukup penting karena ia miskin. Anggapan itu salah. Bawalah aku ke kuburannya.” Kemudian beliau pergi ke sana dan mendoa untuk dia (Bukhari, Kitabal-Shalat). Beliau biasa bersabda bahwa ada orang-orang dengan rambut kusut-masai, tubuhnya tertutup dengan debu, dan mereka tidak disambut oleh orang-orang berada, tetapi begitu tinggi dihargai Tuhan sehingga jika dengan bertawakal kepada Tuhan mereka bersumpah atas nama Allah bahwa suatu hal akan mengalami perubahan, Tuhan akan membantu mereka” (Muslim, Kitabal-Bir wal Sila).
Sekali peristiwa beberapa Sahabat, bekas budak-budak tapi sudah dimerdekakan, bersama-sama duduk ketika Abu Sufyan (seorang pemimpin Quraisy yang memerangi kaum Muslim sampai hari jatuhnya Mekkah dan baru masuk Islam pada peristiwa itu) lewat disitu. Para Sahabat menegurnya dan mengingatkannya kembali kepada kemenangan yang dianugerahkan Tuhan kepada Islam. Abu Bakar mendengarnya dan tidak berkenan di hatinya bahwa seorang pemimpin Quraisy diperingatkan kepada penghinaan yang dideritanya, lalu kumpulan Sahabat itu ditegurnya. Ia menghadap Rasulullah s.a.w. dan menceriterakan peristiwa itu kepada beliau. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Hai, Abu Bakar! Aku khawatir engkau telah melukai hati hamba-hamba Allah itu. Jika demikian, Tuhan akan murka terhadapmu.” Abu Bakar segera kembali kepada para Sahabat itu dan bertanya, “Wahai, saudara saudaraku! Apakah saudara-saudara sakit hati atas apa yang kukatakan tadi?” Mereka menjawab, “Kami tidak mendendam atas perkataan anda. Semoga Tuhan memaafkan anda“ (Muslim, Kitab al-Fada'il). Tetapi, sementara Rasulullah s.a.w. menuntut supaya kaum miskin dihargai dan perasaan mereka tidak dilukai, dan memenuhi segala kebutuhan mereka, beliau berusaha juga meresapkan rasa harga diri ke dalam hati mereka dan mengajarkan agar tidak meminta-minta. Beliau biasa mengatakan bahwa tidak pantas bagi seorang orang miskin merasa puas dengan sebutir atau dua butir korma atau sesuap atau dua suap makanan, tetapi ia harus menghindarkan diri dari meminta-minta, betapapun beratnya cobaan yang dihadapinya (Bukhari, Kitab al-Kusuf). Sebaliknya, beliau biasa mengatakan juga bahwa tidak ada suatu kenduri mendapat berkah selama beberapa orang miskin juga tidak diundang. Aisyah r.a. menceriterakan bahwa seorang wanita miskin pada suatu ketika datang kepada beliau disertai oleh dua anak perempuannya yang masih kecil. Aisyah r.a. tak punya apa-apa pada saat itu, kecuali sebutir korma yang dapat diberikan oleh beliau kepada wanita itu. Wanita itu membagikannya kepada dua anaknya yang kecil itu dan kemudian mereka itu berlalu. Ketika Rasulullah s.a.w. tiba di rumah, Aisyah r.a. menceriterakan hal itu kepada beliau dan Rasulullah s.a.w. bersabda, “Jika seorang miskin mempunyai anak-anak perempuan dan ia memperlakukannya dengan baik, Tuhan akan menyelamatkan dia dari api neraka,” dan menambahkan, “Tuhan akan menyediakan surga kepada wanita itu disebabkan oleh perlakuan baiknya terhadap anak-anak perempuan” (Muslim). Sekali peristiwa diceriterakan kepada beliau bahwa seorang Sahabat bernama Said, seorang yang berada, membanggakan diri tentang hasil usahanya kepada orang-orang lain. Ketika Rasulullah s.a.w. mendengar hal itu, beliau bersabda, “Janganlah seorang menyangka bahwa kekayaan atau kedudukan atau kekuasaannya adalah semata-mata buah usahanya sendiri. Keadaannya tidak demikian. Kekuasaanmu dan kedudukanmu serta kekayaanmu, semuanya diperoleh dengan perantaraan si miskin.” Salah satu doa beliau ialah, “Ya Tuhan! Buatlah hamba ini tetap merendahkan diri selama hamba hidup, dan buatlah hamba merendahkan diri jika hamba mati dan bangkitkanlah hamba pada Hari Pembalasan bersama mereka yang merendahkan diri” (Tirmidhi, Abwab al-Zuhd).
Sekali peristiwa di musim panas, ketika beliau berjalan melalui suatu jalan raya dilihat beliau seorang Muslim yang sangat miskin sedang memikul barang-barang berat dari suatu tempat ke tempat yang lain. Ia seorang dengan paras amat sederhana dan nampak lebih tidak menarik lagi dengan baju yang kotor oleh keringat dan debu. Pandangannya sayu. Rasulullah s.a.w. mendekatinya dengan diam-diam dari belakang dan beliau seperti anak-anak kadang-kadang berbuat dalam senda gurau, menjulurkan tangan beliau ke muka dan menutup mata kuli itu agar ia menerka siapa beliau. Orang itu menjulurkan tangannya ke belakang dan sambil meraba-raba badan Rasulullah s.a.w. ia mengetahui bahwa Rasulullah s.a.w.- lah yang ada di belakangnya. Barangkali ia dapat menerka juga bahwa tak ada orang lain yang memperlihatkan kecintaan yang begitu mesra terhadap orang seperti dia. Karena hatinya senang dan padanya timbul keberanian, ia merapatkan dirinya ke tubuh Rasulullah s.a.w. serta menggosok-gosokkan badannya yang berdebu dan berkeringat itu ke pakaian Rasulullah, barangkali hendak meyakinkan dirinya sampai di mana Rasulullah s.a.w. mau membiarkan dirinya diperlakukan serupa itu. Rasulullah s.a.w. tetap mengulum senyum dan tidak menyuruhnya berhenti dari perbuatannya itu. Ketika orang itu telah merasa puas dan juga merasa terharu, Rasulullah s.a.w. bertanya, “Aku mempunyai seorang budak. Adakah menurut pendapatmu, orang yang mau membelinya?” Orang itu menyadari bahwa barangkali tak ada seorang pun di seluruh dunia kecuali Rasulullah s.a.w. sendiri yang berminat kepadanya dan dengan menghela nafas sedih ia menjawab, “Ya Rasulullah. Tidak ada seorang pun di bumi ini yang bersedia membeliku.” Rasulullah s.a.w. bersabda, “Tidak! Tidak! Kamu jangan berkata demikian. Kamu sangat berharga dalam pandangan Ilahi” (Syarh al-Sunnah).
Bukan saja beliau sangat prihatin akan kesejahteraan si miskin, tetapi beliau senantiasa menganjurkan pula kepada orang-orang lain untuk berbuat serupa. Abu Musa Asy'ari meriwayatkan bahwa jika seorang miskin menghadap Rasulullah s.a.w. dan mengajukan permintaan, beliau biasa bersabda kepada orang di sekitar beliau, “Kamu juga hendaknya memenuhi permintaannya itu sehingga mendapat pahala sebagai orang yang berperan serta dalam menggalakkan perbuatan baik” (Bukhari dan Muslim), dengan tujuan membangkitkan rasa cenderung untuk menolong si miskin di satu pihak dalam hati para Sahabat, dan di pihak lain menimbulkan kesadaran dalam hati kaum fakir-miskin adanya cinta dan rasa kasih saudara-saudara mereka yang kaya.
Saudara-saudaraku yang baik dan mulia,
Inilah kiranya praktek kehidupan yang perlu kita lakukan. Konsep sedekah sebagaimana dimaklumi di dunia ini umumnya bermakna ganda. Pada satu sisi, sedekah merupakan penghormatan bagi nilai-nilai lebih dari si pemberi sedekah. Di sisi lain, hal itu menimbulkan suatu gambaran yang memalukan atau merendahkan bagi si penerima. Laku menerima sedekah itu telah menurunkan status seseorang. Islam telah melakukan revolusionalisasi atas konsep tersebut.
Sebuah analisis menarik mengenai mengapa sebagian orang itu miskin sedangkan bagian lainnya kaya, dikemukakan dalam ayat Al-Quran berikut:
Dalam harta benda mereka ada hak bagi mereka yang meminta pertolongan dan bagi mereka yang tidak dapat meminta. (S.51 Al-Dzariyat: 20)
Pokok permasalahan yang luput dari perhatian adalah dalam penggunaan kata HAQ yang merangkum perilaku mereka yang memberi serta mereka yang menerima. Si pemberi diingatkan bahwa apa yang disedekahkannya kepada yang miskin itu sebenarnya bukan miliknya sendiri. Jelas ada sesuatu yang salah dalam suatu perekonomian dimana ada sekelompok orang yang dibiarkan miskin atau terpaksa mengemis untuk bisa hidup. Dalam suatu sistem perekonomian yang sehat, seharusnya tidak ada yang papa demikian. Dalam sistem demikian tidak harus seseorang mengemis demi kelangsungan hidupnya. Pesan yang dikemukakan ayat di atas adalah bahwa penerima sedekah tidak perlu merasa rendah diri atau malu karena sebenarnya Tuhan telah memberikan kepadanya hak mendasar untuk hidup pantas dan terhormat. Jadi, apa pun yang diberikan oleh pemberi sedekah sebenarnya adalah hak fakir miskin yang karena satu dan lain sebab berada di tangan si pemberi. Sebagaimana dikemukakan di atas, ajaran Tuhan terkait langsung dengan fitrat manusia. Setiap ketimpangan yang mungkin akan mengganggu keseimbangan akan diatasi dengan tindakan-tindakan korektif.
Saudaraku-saudaraku yang baik dan mulia,
Mudah-mudahan, materi ini bisa menjadi bahan renungan kita Keluarga Besar Malangyudo, apakah kita telah memenangkan Ied al Fitr ini, sehingga kita menjadi pantas merayakannya dengan suka cita. Sekian, sekali lagi mohon maaf lahir batin, Ied Mubarak, insya Allah kita masih dipertemukan lagi pada Ramadahan yang akan datang, amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar