Para penghuni neraka
mengatakan ‘sekiranya kami bijaksana dan mendengarkan dengan seksama keterangan
secara tertulis maupun lisan dari para cerdik pandai dan para ahli peneliti
serta mengkaji agama dan kepercayaan-kepercayaan secara adil, niscaya hari ini
kami tidak akan masuk neraka’ (QS, 69:11). Kesadaran yang datang belakangan akan
menjadi penyesalan yang tiada berguna, antara lain disebabkan karena kurangnya ilmu yang dimiliki dan makrifat ilahi yang diperoleh dari
Allah SWT. Oleh karena itu, dalam rangka manusia meraih ilmu dan
makrifat ilahi, Allah SWT melalui al-Qur’an menetapkan bahwa ilmu
terbagi menjadi tiga macam, yakni: Ilmal
Yaqin; ‘Ainul Yaqin; Haqqul Yaqin.
Keyakinan seseorang yang berdasarkan
ilmu pengetahuannya mengetahui suatu benda tertentu melalui perantaraan adalah Ilmal Yaqin. Sarana atau perantara
seperti indera pendengaran dapat
memahamkan seseorang untuk mengetahui tentang adanya sesuatu. Mungkin saja ia
akan ragu-ragu ketika mendengarkan yang pertama kali tetapi kemudian ia menjadi
yakin ketika ia telah berulang kali mendengarnya. Ilmu pada dasarnya adalah sesuatu yang memberikan pengetahuan yang pasti. Manakala
seseorang dalam penjelajahannya mendapatkan sejumlah keterangan yang saling
bertentangan satu dengan lainnya, maka tidaklah mungkin orang tersebut
memperoleh pengetahuan yang pasti. Hal ini mengisyaratkan bahwa al-Qur’an
sebagai kitab sumber ilmu memberi kepastian bahwa tidak ada satu hurufpun yang
mempunyai makna saling bertentangan satu dengan lainnya. Justru sebaliknya
tafsir terhadap sebuah firman Allah SWT akan dijelaskan oleh firman
lainnya di dalam Al-Qur’an, namun bukan oleh kepongahan nafsu manusia yang asor
(dhaif). Dengan demikian sarana lain
seseorang memperoleh ilmu adalah membaca
Kitabullah al-Qur’an al-Syarif. Dalil-dalil yang masuk akal akan
menjelaskan kepada manusia tentang akidah tanpa adanya kekerasan dan paksaan.
Hal ini dikarenakan pada prinsipnya dalam diri manusia telah tertanam fitrat
sejak semula, sebagaimana firmanNya ‘Al-Qur’an yang berberkat ini tidak membawa
sesuatu yang baru melainkan mengingatkan
kepada apa-apa yang tertanam dalam fitrat
manusia dan dalam lembaran hukum
alam’ (QS, 21:51).
Agama ini tidak menghendaki supaya manusia menerima
sesuatu dengan kekerasan melainkan
bagi setiap sesuatu ia menggunakan dalil-dalil.
Disamping itu didalam Al-Qur’an terkandung khasiat
kerohanian yang mencahayai hati
manusia (QS, 2:257). Dalam ayat yang lain dijelaskan bahwa Al-Qur’an dengan
khasiatnya menyembuhkan segala penyakit
(QS, 10:58). Dengan kata lain bahwa semua penjelasan-penjelasan dan
keterangan-keterangan hukum alam dan dari dalil-dalil dalam Al-Qur’an yang
disampaikan secara adil tanpa kekerasan dan pemaksaan akan dapat diterima akal
sehat secara meyakinkan serta menerangi kegelapan hati dan menyembuhkan
penyakit akan membawa manusia mencapai Ilmal
Yaqin.
Puncak perolehan Ilmal Yaqin adalah melalui hati nurani
manusia yang di dalam bahasa Al-Qur’an disebtnya sebagai fitrat atau naluri.
Dalam firmanNya dinyatakan bahwa fitrat Allah yang di atasnya manusia
diciptakan (QS, 30:31). Bentuk fitrat manusia adalah Tauhid yakni pengakuan
ke-Esa-an Tuhan yang tiada sekutu baginya, tidak dilahirkan dan tidak pula ada
noda kematian. Allah SWT yang Maha Pencipta meletakkan nilai khasiat
(value) dengan cara halus yang tak
terkatakan. Untuk memahaminya akal pikiran manusia harus sepenuhnya tertuju
kepada nilai khasiat melalui perasaan hati nurani yang sangat halus. Demikian
pula halnya dalam memahami keberadaan Tuhan yang kekuasaanNya menjadi tumpuan
bagi segala harapan. Oleh karena itu ilmu yang diperoleh manusia melalui hati
nurani termasuk dalam Ilmal Yaqin.
Selanjutnya apabila dalam memahami sesuatu sudah tidak lagi diperlukan
perantara maka keyakinan demikian adalah ‘Ainul
Yaqin. Seperti bagaimana memahami panas dan dingin menggunakan indera kulit
permukaan, mengetahui manis dan pahit menggunakan indera lidah dan
contoh-contoh lainnya. Dalam kaitannya dengan keberadaan alam ukhrawi, ilmu ketuhanan manusia bisa
sampai ‘Ainul Yaqin bilamana telah
menerima langsung ilham tanpa
perantara, mendengar suara ilahi dengan telinga hatinya, melihat pandangan
ghaib (kasyaf) yang terang dan benar
dengan matanya sendiri. Tak ayal lagi bahwa untuk memperoleh makrifat ilahi, manusia sangat
bergantung pada ilham yang
diterimanya tanpa perantara. Hal demikian akan menimbulkan rasa dahaga untuk
ingin mencapai ke kesempurnaan makrifat
ilahi dalam hati sanubari manusia. Seandainya sejak diciptakan dunia ini,
Tuhan tidak menciptakan ‘wahana’ bagi berlabuhnya makrifat ilahi, mengapa
perasaan lapar dan dahaga atas pencapaian makrifat itu ada dalam diri manusia?
Kemudian apakah kepuasan pencapaian makrifat itu hanya didasarkan oleh
kisah-kisah dan hikayat belaka (?) atau hanya mengadalkan buah pikiran akal
sehat (?) Hal yang demikian itu hanyalah makrifat yang tidak bermutu lagi tidak
sempurna. Kuncinya adalah apabila Allah SWT menghendaki untuk
menganugrahkan makrifat ilahi yang sempurna kepada pencari kebenaran, niscaya
Dia akan membukakan pintu Mukalimah
dan Mukhatibah (Firman dan
Wawanwicara dengan Tuhan). Sebagaimana firmanNya ‘Ya Tuhan, tunjukilah jalan
istiqomah, yakni jalan orang-orang yang telah Engkau anugrahkan nikmat kepada
mereka’ (QS, 1:6,7). Nikmat dapat
dimaknai sebagai ilham, kasyaf dan
ilmu-ilmu samawi lainnya yang diterima langsung oleh manusia. Barang siapa yang
sudah beriman kepada Allah bergigih dalam pendirian mereka, maka
malaikat-malaikat turun atas mereka membawa ilham untuk mereka, ‘jangan takut
dan bersedih hati’. Bagimu tersedian sorga yang telah dijanjikan kepadamu (QS,
41:31). Selanjutnya Allah SWT berfirman ‘Para pencinta Tuhan
menerima kabar suka melalui ilham dan firman Tuhan dalam kehidupan di dunia ini
maupun dalam kehidupan ukhrawi kelak (QS, 10:65).
Selanjutnya bagaimana
memahami ilham itu sendiri? Dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan ilham
bukanlah buah pikiran manusia yang diperoleh dari hasil permenungan yang
panjang. Misal: penyair yang menggubah syair indah dan menyentuh hati; novelis
yang menuliskan kisah-kisah baik dan indah; bahkan rencana super canggih yang
sempurna dalam sebuah konspirasi jahat. Yang dimaksud dengan ilham sejati
adalah Kalam hidup lagi perkasa yang digunakan olehNya untuk bertutur-kata
kepada hamba pilihanNya atau kepada hamba yang dimuliakanNya. Kalam itu
melezatkan, penuh hikmah, penuh wibawa dan kalam semacam itu adalah Kalam Ilahi
dan dengan itu Dia berkehendak memberi hiburan kepada hambaNya dan menampakkan
DzatNya sendiri kepadanya. Ada kalanya ilham juga berupa ujian, apakah dengan
mencicipi sekelumit ilham tersebut dia akan memperlihatkan keadaan dirinya
sebagai seorang mulham sejati atau
akan tergelincir(?). Dengan gambaran ini para mulham-pun memiliki martabat yang
berbeda-beda, bahkan para nabi-pun demikian. Sebagian nabi dilebihkan atas
sebagian yang lain (QS, 2:254). Kesimpulannya, bahwa ilham adalah karunia
semata dan tidak ada sangkut pautnya dengan kelebihan martabat seseorang. Ilham
yang sejati dan suci menampakkan pengalaman-pengalaman rohani manusia pilihanNya.
Maka mereka itu hendaknya bersyukur,
berkorban dan istighfar, karena
sejatinya nikmat semacam itu adalah hanya bagi pewaris para shiddiq. Bernasib baiklah manusia
semacam itu yang memperoleh nikmat dariNya karena kecuali itu semuanya tiada
berarti. Pribadi yang sudah mencapai martabat dan derajat itu senantiasa
terdapat dalam kalangan umat Islam. Dan hanya dalam Islam, Tuhan menghampiri
dan bercakap-cakap dengan hambaNya.
Orang yang telah mencapai
martabat itu janganlah diremehkan/dikecilkan, tetapi kebalikannya jangan pula
ia disembah/dilebih-lebihkan. Pada keadaan martabat semacam itulah Allah SWT
memperlihatkan hubungan dengan hamba sedemikian rupa sehingga seakan-akan jubah
ke-Tuhan-an telah dikenakan kepadanya. Orang semacam itu menjadi cermin untuk
melihat Tuhan. Nabi Besar Muhammad SAW bersabda ‘Barang siapa yang
melihat diriku, maka ia telah melihat Tuhan’. Oleh karena itu hanya melalui
Rasulullah SAW inilah Allah SWT akan membukakan pintu Mukalamah dan Mukhatabah Ilahi.
Selanjutnya setelah ilmu
itu diperoleh melalui kemampuan akal dan hati sanubari, bagaimana mencapai ke
kesempurnaan dalam meraih makrifat ilahi? Kendatipun mata melihat, tanpa cahaya
ia sama saja dengan buta. Telinga mendengar namun tetap saja membutuhkan udara
untuk menyampaikan pesan. Maka Tuhan Yang Mahasempurna dan Mahahidup, adalah
Dia yang senantiasa memberitahukan keberadaanNya. Allah SWT berfirman
‘Tuhan-lah yang setiap saat merupakan cahaya langit dan cahaya bumi’ (QS,
24:36). Dia-lah Matahari bagi matahari, Dia-lah Nyawa bagi makhluk bernyawa,
Dia-lah Tuhan Sejati yang Mahahidup, berbahagialah mereka yang menerima
kehadiranNya. Oleh karena itu jadi jelas kesempurnaan ilmu yang diperoleh
melalui sarana ketiga yakni Haqqul Yaqin.
Segala penderitaan, kesusahan dan aniya yang menimpa para nabi dan orang-orang
shaleh memperlihatkan secara jelas yang tadinya hadir dalam pikiran manusia
sebagai ilmu belaka kini menjadi nyata dalam bentuk amalan. Kemudian
berangsur-angsur praktek amal-shaleh berkembang menuju ke kesempurnaan (makrifat ilahi). Semua nilai akhlak
seperti pemaaf; sabar; kasih-sayang dan lainnya yang tadinya hanya terdapat di
otak dan hati sanubari, kini lahir dalam kehidupan keseharian. Manusia
memperlihatkan akhlaq mulia yang dengan tubuhnya melaksanakan amal-shaleh dan
ke-ikhlasan total sehingga apa yang ia lakukan sesuai kehendakNya. Selanjutnya Allah
SWT berfirman ‘Kamu sekalian akan Kami uji dengan ketakutan dan
kelaparan dan kerugian harta dan kerugian jiwa dan denga kegagalan usaha dan
dengan kematian anak-cucu. Yakni semua penderitaan itu akan menimpamu karena
keputusan dan kodrat Tuhan atau karena perbuatan tangan musuh. Kabar suka
adalah bagi orang-orang yang dalam tertimpa musibah hanya berkata “kami adalah kepunyaan Allah, dan kepada Dia
kami akan kembali”. Bagi merekalah selamat dan rahmat dari Tuhan dan
orang-orang itulah yang telah mendapat petunjuk yang sempurna’ (QS, 2:156-158).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar