Adalah Aminah Ayob, seorang profesor neuroscience
dari Malaysia yang mengatakan bahwa di dalam diri manusia dewasa terdapat
kekuatan yang sangat dahsyat, yaitu, keyakinan (Ayob, 2006). Keyakinan di dalam
bahasa Inggris, ’faith’, atau, ’believe’, atau dalam bahasa latin, ’fidere’, adalah sesuatu yang dipercayai
seseorang, terlepas apakah hal itu benar atau salah (Webster’s Dictionary,
Second Edition). Keyakinan hanya dimiliki oleh makhluk ciptaan Tuhan yang
termasuk dalam spesies homo sapien
sapiens alias manusia.
Demikian
perkasanya sebuah keyakinan di dalam diri manusia sehingga kekuatan dunia
sekalipun tidak mampu mengalahkannya. Mengapa
demikian? Karena letaknya tersembunyi, yaitu di dalam otak. Hanya dirinyalah
yang dapat mengalahkan. Demikianlah fakta yang telah dibuktikan oleh para akhli
neuroscience[1]).
Al-Qur’an membenarkan hal tersebut sebagaimana dinyatakannya:
Dan tak seorangpun dapat beriman, kecuali dengan ijin
Allah. Dan Dia menimpakan kehinaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan
akalnya. (Surah Yuunus; 10:100).
Kata ’dapat beriman’ menunjukkan proses
perubahan diri untuk ’mengalahkan’ keyakinan lama. Perubahan ini memerlukan ’. . . ijin Allah’, terutama setelah
manusia ’. . . . mempergunakan akalnya’. Jadi, keyakinan seseorang memang
hanya dapat ’dikalahkan’ oleh dirinya sendiri. Mengenai seberapa cepat atau
lambat proses perubahan tersebut tergantung sejauh mana keyakinan lama telah
’mengikat’ dirinya - menjadi sebuah kebiasaan.
Kebiasaan-kebiasaan
yang telah lama disimpan di dalam otak manusia menghasilkan perilaku yang sulit
berubah. Dalam peribahasa Sunda sering
dikatakan, ’adat kakurung ku iga’. Peribahasa
ini merujuk pada seseorang yang karena kebiasaanya sudah demikian mendarah
daging sehingga seolah-olah tiada celah untuk berubah. Dalam hal ini tulang iga telah mengurung adat istiadat seseorang.
Seorang
psikolog Amerika Serikat yang sangat terkenal bernama Ellen Kreidmen, dalam
ceramah-ceramahnya sering mengemukakan kata-kata, ’adult clings to old habits’. Arti dari kata tersebut kurang lebih,
’orang dewasa telah terikat oleh pengaruh masa lalu yang telah mengakar dan tertanam
di dalam benaknya’. Adat, habit (kebiasaan), keyakinan, atau kepercayaan (believe, faith) pada hakekatnya merupakan
akumulasi dari reaksi diri terhadap kejadian sehari-hari masa lampau.
Bangsa Barat mengenal pepatah kuno
untuk diamalkan dalam kehidupan mereka sehari-hari - Dorothy Law Nolte. Preambul
Dorothy Law Nolte berjudul, ’Children
learn what they live, artinya, anak belajar dari yang mereka alami.
Sebagai contoh, ketika seorang anak hidup dengan penuh toleransi pada
masa kecilnya maka ia akan tumbuh menjadi seorang manusia yang sabar. Sebaliknya,
jika seorang anak dibesarkan dengan pola hidup penuh kekerasan maka ia akan
terbentuk menjadi manusia pemarah. Dalam posisi seperti itu, si anak belajar
merekam memori, menimbang emosi dan menggapai motivasi sesuai dengan apa yang
ia dapatkan. Ketiganya diperoleh di lingkungan rumah, melalui pendidikan orang tuanya,
maupun pengaruh lingkungan yang lebih besar. Ketiganya disimpan di dalam bagian
otak tengah yang disebut limbic system (Gazzaniga,
2002). Paul Broca, seorang ilmuwan Perancis menamakannya sebagai grand lobe limbique. Limbic system bersama bagian otak yang lain serupa dengan central processing unit (CPU) dari
sebuah komputer.
Central processing unit seorang manusia bukan berada di dalam jantung atau hati sebagaimana
dipercayai sebagian besar manusia sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Bagi
pembaca yang saat ini telah berumur setengah abad atau lebih tentu masih ingat
dengan syair-syair lagu duet yang dibawakan oleh Titik Sandhora dan Muhsin
Alatas pada tahun 70’an sebagai berikut.
Titik Sandhora: “Aku
belum percaya abang sayang padaku”.
Muhsin Alatas: “Ambil
sebilah pisau belah saja dadaku”.
Muhsin Alatas ingin menunjukkan kepada Titik Sandhora betapa keras detak
jantungnya, yang dalam bahasa puisi merupakan bukti betapa besar memori, emosi
dan motivasi cintanya kepadanya. Namun, apakah ungkapan tersebut benar?
Benarkah pusat perasaan cinta seseorang terletak di jantung? Bagaimana jika
terjadi sesuatu hal terhadap dirinya dan ia harus mengalami transplantasi jantung?
Jika sang donor seorang keturunan India atau Uganda yang
tidak mengenal kekasihnya, masih samakah perasaan cintanya kepadanya? Bagaimana
pula jika dewi penolong yang ‘merelakan’ jantungnya adalah seekor binatang
mamalia? Bagaimana pula jika para ilmuwan dapat menciptakan jantung buatan dari
plastik? Hilangkah cintanya kepada sang idola? Tentunya tidak demikian. Jantung
siapapun dan bahan apapun yang dicangkokkan sepanjang dapat berfungsi dengan
baik di tubuh Muhsin Alatas maka perasaan cintanya terhadap Titik Sandhora
tidak akan berubah - selama limbic systemnya
tidak diganti.
Limbic system atau disingkat limbic, dalam bahasa populer dikenal sebagai old mammalian brain atau paleopallium atau intermediate brain, yaitu otak yang terdapat juga pada binatang
bertulang belakang dan menyusui – mamalia. Mamalia dan manusia pada prinsipnya
memiliki banyak kesamaan, khususnya dalam hal otak yang satu ini. Jika kedua spesies
yang berbeda tersebut memiliki persamaan sedemikian rupa, lalu, ’apakah yang
membedakan mereka’? Pertanyaan ini dijawab oleh seorang ahli filsafat bangsa
Jerman yang bernama Ludwig Andreas Feuerbach (1804 – 1872).
Filsuf yang sering dijuluki ’sang atheis yang humanis’ oleh Gereja
Katolik ini menyatakan, bahwa, ’perbedaan yang sangat esensial antara manusia
dan binatang terletak pada kenyataan bahwa manusia dapat berpikir tentang
ketuhanan (beragama) sedangkan binatang tidak’. Manusia juga memiliki kesadaran
(consciousness) untuk menilai sesuatu
hal sehingga mampu menghasilkan pengetahuan secara sistematik yang disebut
sains (baca the Essence of Christianity, salah
satu karya tulisnya yang diterbitkan pada tahun 1841).
Di dalam buku the Essence of
Christianity, Feuerbach mempertanyakan beberapa keyakinan Kristen yang
menurutnya bertentangan dengan logika, akal sehat, dan sains. Diantara
keyakinan pokok yang dipermasalahkan misalnya tentang ketuhanan Jesus a.s,
konsep Trinitas dan ketuhanan Maryam, kisah-kisah mukjizat, kebangkitan Jesus
a.s dari kematian di tiang salib, dan lainnya.
Feuerbach berpendapat bahwa intisari agama Kristen yang diajarkan di
dalam Bible, khususnya tentang ketuhanan Jesus a.s bertentangan dengan
sifat-sifat Tuhan yang bebas dari kelemahan dan tidak mungkin mengalami
kematian. Padahal, Jesus a.s adalah anak seorang manusia biasa yang mengalami
kesakitan, kesedihan, dan kematian.
Demikian juga dengan konsep Trinitas yang tidak pernah diajarkan oleh
Jesus a.s sama sekali tidak memiliki metode pembenaran yang jelas. Hingga hari
ini belum ada seorang pimpinan gereja sekalipun yang mampu memberikan jawaban
jelas, masuk akal dan dapat membuktikan, mekanisme ‘three in one’ – satu Tuhan dalam tiga bentuk. ‘Doktrin gereja di
atas hanyalah sebuah keyakinan bukan kebenaran’, menurutnya. Feuerbach
menginginkan sebuah keyakinan yang didukung oleh kebenaran hakiki, tidak
sekedar memori yang disimpan di dalam limbic
dan belum pasti kebenarannya.
Limbic hewan
mamalia maupun manusia memiliki alat penerima (receptor) emosi dan memori, yaitu hypothalamus dan hyppocampus
(lihat Gambar 2 di bawah). Kedua alat penerima tersebut memiliki kemampuan
menyimpan sebagian besar pengalaman setiap individu yang dirasakannya melalui
panca indranya atau pengalaman lainnya seperti mendapatkan mimpi, halusinasi,
ilham atau wahyu.
Bagaimana limbic binatang
mamalia berfungsi dapat diilustrasikan sebagai berikut. Seekor induk anjing menemukan seonggok daging di tempat yang ia lalui.
Penglihatannya mengirimkan signal ke sel-sel otak tengahnya yang kemudian
merangsang seluruh bagian sel tubuhnya untuk segera mendekat dan menyantap
daging tersebut. Anak-anak anjing akan mengikuti tindakan induknya. Anak-anak
anjing belajar dari pengalaman tersebut dan menyimpannya ke dalam pusat memori
yang terletak di dalam limbic.
Ketika
sang induk anjing sedang menggerogoti daging tersebut dengan enaknya tiba-tiba
datanglah seekor anjing lainnya. Dalam sekejap salah satu bagian di dalam limbic induk anjing yang bernama amygdala tidak difungsikan. Sang induk
anjing mengeram dan menggonggong. Amygdala
adalah pusat rasa takut, pengendali agresi,
emosi dan respons terhadap pertahanan (defensive
respons). Pusat inilah yang mempengaruhi sang induk anjing untuk menimbang
apakah akan mempertahankan seonggok daging tersebut atau karena ketakutan lalu
meninggalkannya? Instink sang induk anjing membuat keputusan berdasarkan
penampilan fisik lawan dan menyampaikannya ke amygdala. Apapun keputusan yang diambil oleh induk anjing menjadi
sebuah ’kebenaran’ bagi anak-anaknya. Pada keadaan semacam itulah anak-anak
anjing belajar keberanian atau ketakutan dari induknya. Dalam dunia binatang,
hanya kekuatan fisik yang menjadi tolok ukur ’kebenaran’.
Manusia
pra sejarah yang belum mengenal peradaban cenderung bertindak seperti binatang.
Apabila mereka menemui makanan di jalan yang dilaluinya maka limbic yang ada di dalam kepalanya akan
memerintahkan untuk mengambilnya. Tindakan yang dilakukannya bukanlah sebuah
kesalahan atau dosa. Demikian juga ketika manusia lainnya datang untuk merebut
makanan tersebut maka pusat pengendali agresinya akan mempertimbangkan untuk
mempertahankan dengan kekerasan atau mengalah dengan mempertimbangkan kekuatan
fisik lawan yang akan dihadapinya. Jika ia memutuskan untuk melawan atau lari
(takut) maka pengalaman tersebut disimpan di dalam limbic nya dan kemudian dijadikan keyakinannya bahwa itulah
kebenaran hidup. Itulah kebenaran versi manusia yang belum mengenal peradaban.
Pusat pengendali
agresi manusia sama dengan binatang mamalia yaitu pusat yang secara naluriah
merupakan kendali pertahanan keyakinan yang sudah tertanam di dalam benaknya.
Sebagaimana binatang yang menjadikan kekuatan fisik menjadi tolok ukur
’kebenaran’, maka kebanyakan manusia primitif menjadikan kekuatan fisik sebagai
satu-satunya tolok ukur kebenaran. Manusia modern, karena mereka memiliki limbic maka naluri pertama yang muncul
adalah mempertimbangkan kekuatan fisik sebagai patokan benar atau salah. Namun,
dengan berubahnya peradaban manusia maka ada kekuatan lain yang juga
dipertimbangkan, yaitu harta kekayaan dan kekuasaan - sebagai standar
’kebenaran’.
Manusia
adalah makhluk setengah binatang. Keunikan makhluk semacam ini terletak pada limbic-nya. Pada saat
organ ini dapat dikendalikan seseorang akan menjadi manusia seutuhnya,
sebaliknya, ketika otak tengah ini menjadi demikian dominan maka mereka akan
bersifat sebagaimana layaknya binatang. Oleh karena itu tidaklah mengherankan
jika sebagian manusia modern yang hidup di abad ke 21, khususnya yang hidup di
negara-negara miskin dan terbelakang seperti Indonesia, masih mengandalkan
naluri hewaniah terutama ketika mempertahankan sesuatu yang dirasakan menjadi
miliknya – termasuk keyakinan. Tindak kekerasan atas nama agama (Islam) oleh
sekelompok organisasi massa terhadap kelompok lainnya merupakan contoh tindakan
primitif yang masih tersisa di Indonesia. Padahal, Islam adalah ajaran yang
sangat rasional - bukan ajaran primitif.
Referensi:
Agama Yang
Membebaskan, Impulse, Jogjakarta, 2010.
Ditulis
Oleh: DR. Soekmana Soma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar