Sabtu, 19 Mei 2012

MENJADI RAHMAT BAGI MASYARAKAT DAN LINGKUNGANYA


Mengharapkan menjadi manusia yang bermanfaat bagi diri pribadi, keluarga, sahabat, karib dan masyarakat serta lingkunganya membutuhkan kesadaran awal akan tujuan hidup manusia di dunia ini dan segala upaya untuk dapat mencapainya. Dengan berbagai macam pembawaan alaminya  karena pengetahuan yang dangkal dan kemampuan yang terbatas, manusia menetapkan berbagai tujuan hidupnya. Kemudian mereka berjalan, berusaha mencapai tujuan yang mereka tetapkan dan ketika sudah sampai cita-citanya kemudian berhenti. Keadaan ini berbeda dengan kehendak Allah SWT, Maha Pencipta (al-Khaliq) segala sesuatu di jagad raya ini, termasuk didalamnya manusia sebagai makhluk.
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (51:57). Allah telah menetapkan tujuan hidup manusia yakni mengabdi (beribadah) kepada-Nya, mengenal-Nya dan menyembah-Nya. Totalitas pengabdian kepada Allah SWT untuk meraih kecintaan Ilahi serta menjadikan diri kita sebagai miliki Allah SWT. Kehadiran manusia di dunia ini bukan atas kehendak pribadi melain dia hanyalah makhluk (hasil ciptaan) Maha Pencipta. Allah SWT menganugrahkan kemampuan yang cemerlang dan lebih tinggi dari makhluk-makhluk lainnya sebagai sarana mencapai kebahagiaan hidupnya dan meraih tujuan hidup baginya. Dalam konteks totalitas pengabdian (beribadah) kepada Allah SWT mempunyai dua dimensi, yakni dimensi ke-Tuhan-an (habluminnallah) dan dimensi kemanusiaan (habluminannas).

Pertama, dalam dimensi ke-Tuhan-an persyaratan pokoknya adalah mengenal Allah SWT, tanpa mengenal secara hakiki maka tidak terhubung tali spiritualitas dirinya dengan Allah SWT. Sehingga pernyataan inna shalati wannusuki wamahyaya wamamati lilahi robbul’alamin yang bermakna bahwa ibadah shalatnya, pengorbanan dan perjalanan kehidupannya serta akhir kematiannya semata-mata diperuntukkan hanya kepada Tuhan Penguasa Alam Semesta menjadi hambar. Karena mengenal Allah SWT yang sebenarnya akan membangun kesadaran akan hak dan posisi antara manusia sebagai makhluk dan al-Khaliq Sang Maha Pencipta. Pengejawantahan sikap ini akan tercermin dari perilaku manusia yang mengenal batas-batas otoritasnya, manusia tidak mengakuisisi otoritas Tuhan, manusia tidak memaksakan kehendak bagi manusia lainnya, seperti: Tidak ada paksaan dalam agama; sesungguhnya jalan benar itu nyata bedanya dengan jalan kesesatan. Karena itu barangsiapa yang menolak jalan kesesatan dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui (2:257). Manusia yang mengenal Tuhannya secara benar maka ia tidak akan melepas hubungan itu, karena dengan kasih sayang-Nya, Allah SWT juga menghendaki agar manusia dengan segenap kemampuannya secara terus menerus menyembah, mentaati dan mencintai-Nya (30:31). Itulah sebabnya sang Maha Kuasa, Maha Mulia, Maha Kasih dan Maha Sayang menganugrahkan kepada manusia suatu kemampuan untuk dipergunakannya dalam mencapai tujuan hidup yang ditetapkan Allah SWT dalam meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Selanjutnya, mengenal Allah SWT secara hakiki akan menumbuhkan pemahaman dan pengetahuan karena apa yang difirmankan-Nya tidak bertentangan dengan apa yang dilaksanakan-Nya (sunnatullah). Sebuah tamzil yang indah dipahamkan kepada kita sebagai berikut: Hanya Allah-lah yang Hakiki yang pantas dimintai do’a, yang berkuasa atas tiap sesuatu. Dan mereka yang berseru kepada berhala-berhala selain Allah, berhala-berhala tak sedikitpun dapat menjawab. Keadaan mereka seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke air, lalu berkata: “hai air datanglah ke mulutku” apakah air itu datang ke mulutnya? Sekali-kali tidak! Jadi barang siapa tidak mengenal Tuhan Yang Hakiki, segala do’a mereka menjadi sia-sia. (13:15). Allah SWT telah membimbing manusia untuk menelaah secara mendalam terhadap firman-firman-Nya dan pekerjaan-Nya yang satu dengan lainnya sama sekali tidak berseberangan, tetapi saling melengkapi untuk dipahami sebagai sarana mencapai kebahagiaan. Pada saat manusia memasuki alam dunia (dilahirkan) Allah SWT telah memberinya perlengkapan, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (16:79). Manusia lahir tidak mengetahui sesuatupun kemudian Allah SWT memberinya kemampuan mendengar dan mengetahui ilmu pengehatuan (ilmal yakin), kemudian diberinya kemampuan melihat untuk membuktikkannya (ainal yakin) dan meleburkan diri merasakan kebenaran hakiki dengan hati (haqul yakin). Dan itulah sikap syukur manusia yang meningkat dari waktu ke waktu yang dikehendaki Allah SWT agar ia menjadi manusia yang berubah menuju makrifatullah sebagai manusia yang beruntung. Sebagaimana dipahami bahwa mereka yang hari ini sama dengan hari kemarin dikatakan sebagai orang yang merugi, sedangkan mereka yang beruntung adalah orang yang hari ini lebih baik daripada hari kemarin. Namun sungguh celaka bagi mereka yang hari ini lebih buruk dari pada hari kemarin. Sudah barang tentu keadaan celaka bukanlah keadaan yang diharapkan bagi kehidupan manusia sejati yang baik. Mereka akan terus menerus berusaha untuk melakukan perbaikkan dalam kehidupan nyata di masyarakat. Dengan demikian makna ‘mengenal Tuhan secara hakiki’ telah menjadikan manusia lebih menyadari hak dan keberadaan Tuhan Yang Maha Pencipta dan menumbuhkan manusia lebih memahami dengan ilmu pengetahuannya tentang hukum-hukum Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Selanjutnya praktek ‘kesadaran’ dan ‘pemahaman’ di atas dalam kehidupan nyata merupakan wujud rasa syukur manusia terhadap karunia Tuhan yang telah memampukannya menghadapi tantangan kehidupan. Manusia sejati akan bekerja tidak saja dengan kekuatan tangannya (hand) melainkan juga dengan kecerdasan otak dikepalanya (head) dan dengan ketulusan hatinya (heart).

Kedua, dalam dimensi kemanusiaan (habluminannas) manusia dituntut untuk selalu membangun tali silaturahim dalam kehidupan nyata. Silaturahim dapat dimaknai sebagai hubungan baik yang didasarkan atas Kasih Sayang Tuhan. Allah SWT yang memberi kemurahan begitu melimpah sebagai perwujudan sifat Rahmaniyyat, Dia memberi bentuk dan rupa bagi semua makhluk bernyawa, sesuai dengan kondisi dan keperluannya, tidak terkecuali makhluk manusia. Dia menyediakan semua fasilitas dan kekuatan yang diperlukan oleh makhluk-Nya sesuai keadaan masing-masing. Semisal, Dia menciptakan begitu kokoh dan kuat dada seekor burung untuk menghadapi tantangan angin, burung mengepakkan sayapnya yang kuat untuk terbang jauh bermil-mil, demikian pula halnya dengan makhluk hidup lainnya. Manusia mendapat perlakuan Rahmaniyyat kemurahan yang paling banyak dibanding dengan makhluk lainnya. Dikarenakan demi memenuhi semua keperluan-keperluan manusia, setiap makhluk dan benda berkorban untuknya, luar biasa, maka bersyukurlah. Dalam penciptaan manusia dan perkembangannya, Allah SWT memerintahkan agar manusia bertaqwa dan memelihara silaturahim. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.(4:2) Perintah ini mengandung makna yang mendalam yakni ketaqwaan kepada Allah SWT selalu diikuti oleh membangun dan memelihara silaturahmi dengan manusia dan ciptaan lainnya. Dengan demikian manusia tidak akan terlepas dari hubungannya dengan Sang Maha Pencipta sekaligus sebagai dasar dalam membangun kehidupan nyata di alam fana. Saling memberi kebaikkan, tolong menolong yang bermanfaat, memelihara keseimbangan alam dan memanfaatkannya. Filosofi Jawa menyebutnya Hamemayu Hayuning Bawono, memelihara kecantikan bumi (sarana kehidupan) yang diciptakan Sang Maha Indah dengan cantik.
Dari kajian di atas dapat disimpulkan perihal tujuan pokok diciptakannya manusia, yakni semata-mata untuk melaksanakan totalitas pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Khaliq Allah SWT. Totalitas pengabdian diimplementasikan pada pengkhidmatan kepada kemanusiaan yang didasarkan atas keyakinannya akan keberadaan Allah SWT. Sehingga apa yang dijalankannya akan memberi rahmat kebaikkan bagi manusia sekelilingnya dan lingkungannya sebagaimana yang Allah SWT kehendaki.
Jalan Mencapai Tujuan Hidup Manusia
Bagaimanakah manusia dapat mencapai tujuan hidupnya dan bagaimana ikhtiarnya agar tujuan itu tercapai? Inilah pertanyaan yang penting sehingga prinsip-prinsip yang dikemukakan di atas menjadi dapat dilaksanakan dengan baik. Dalam buku Filsafat Ajaran Islam (MG Ahmad, 1896) dijelaskan bagaimana ikhtiar manusia bisa dilakukan, sebagai berikut:
1.    Jalan perdana adalah mengenal Tuhan secara hakiki sehingga manusia akan memahami kedudukannya sebagai makhluk dihadapan Sang Khaliq, Allah SWT. Manusia tidak akan mengambil hak Tuhan tetapi ia menjalan apa yang diperintahkanNya dan menghindarkan apa yang dilarangNya.
2.    Jalan kedua adalah mendapat gambaran yang jelas akan kejuitaan dan keindahan yang sempurna dalam wujud Allah SWT. Al-Qur’an menarik perhatian orang-orang dengan berkali-kali mengemukakan kesempurnaan dan keagungan Tuhan, seolah-olah hendak mengatakan ‘lihatlah, Tuhan seperti itu adalah Wujud yang menarik minat dan bukan wujud yang mati, lemah, tuna perasaan kasih-sayang dan tuna kuasa’.
3.    Jalan ketiga adalah mengenal kemurahan Tuhan. Pendorong dan perangsang yang membangkitkan rasa cinta terdiri dari dua hal, yakni kecantikan dan kemurahan. ‘Segala puji bagi Allah semesta alam, Yang Maha Pemurah, Maha Penyayang, yang mempunyai Hari Pembalasan’ (1:2-4).
4.    Jalan keempat untuk mencapai tujuan sebenarnya adalah do’a, sebagaimana firman-Nya ‘Berdo’alah dan Aku akan mengabulkan do’amu’ (40:61). Berulang kali Tuhan menarik minat manusia untuk berdo’a supaya mereka mencapai tujuan bukan karena kekuatan sendiri, melainkan dengan pertolongan Allah SWT.
5.    Jalan kelima adalah mujahidah (semangat joang), yakni mencari kedekatan Tuhan (qurb ilahi) melalui pengorbanan harta benda, menyerahkan segenap kemampuan, mengorbankan jiwa dan mengerahkan segenap kecakapan pada jalan Allah SWT. Saripati firman Allah ‘belanjakan harta bendamu, jiwa ragamu, berikut segenap kemampuanmu pada jalan Allah’ (9:41); ‘apapun yang kami anugrahkan kepada mereka berupa kecakapan, ilmu pengetahuan, keahlian dan lainya, semuanya diserahkan mereka pada jalan Allah’ (2:4); ‘barang siapa berjoang dengan berbagai cara pada jalan Kami, maka Kami akan menunjukkan jalan Kami kepada mereka’ (9:70).
6.    Jalan keenam adalah istiqamah (gigih, tabah, teguh), yakni dalam menempuh usaha orang tidak bosan-bosan, tidak patah semangat, tidak mengenal lelah dan tidak gentar menghadapi cobaan. Firman-Nya ‘Ya Allah, Tuhan kami, tunjukilah kami jalan istiqamah, yaitu jalan yang di atasnya diperoleh nikmat-nikmat dan kemuliaan yang Engkau meridhainya’ (1:6-7).
7.    Jalan ketujuh adalah bergaul dengan orang-orang saleh, agar dapat belajar dan mencontoh perbuatan kebaikan sempurna mereka.
8.    Jalan ke delapan adalah berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh mimpi suci dari Allah SWT. Sebab menempuh jalan menuju Tuhan akan sangat pelik dan penuh rintangan dan penederitaan. Manusia bisa saja tersesat dijalan yang tak nampak, dibayangi perasaan putus asa dan enggan meneruskan jalan lurus itu. Namun Allah SWT dalam sunnah-Nya akan selalu menghibur para musafir (orang yang terus berjalan menuju kepada-Nya) melalui firman-Nya dan ilham-Nya, Tuhan memperlihatkan kepada mereka bahwa Dia bersama mereka.
Melalui jalan inilah seorang Muslim akan dimampukan Allah SWT untuk mewujudkan dirinya menjadi rahmat bagi dirinya, keluarganya, masyarakat dan lingkungannya. Hal ini tentu sesuai dengan tujuan diturunkannya Rasulullah Muhammad SAW bagi umat manusia sebagai rahmatan lil ‘alamin. Love for All Hatred for None.
Ceramah oleh Ahmad Saifudin Mutaqi, dalam acara Rekoleksi 50 Tahun PUSKAT, 28 Agustus 2010 bersama Civitas Akademika (Romo, Pastur, Dosen dan Karyawan) Sekolah Guru Agama Katolik, Universitas Sanata Dharma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar