Mengharapkan menjadi manusia yang
bermanfaat bagi diri pribadi, keluarga, sahabat, karib dan masyarakat serta
lingkunganya membutuhkan kesadaran awal akan tujuan hidup manusia di dunia ini
dan segala upaya untuk dapat mencapainya. Dengan berbagai macam pembawaan
alaminya karena pengetahuan yang dangkal
dan kemampuan yang terbatas, manusia menetapkan berbagai tujuan hidupnya.
Kemudian mereka berjalan, berusaha mencapai tujuan yang mereka tetapkan dan
ketika sudah sampai cita-citanya kemudian berhenti. Keadaan ini berbeda dengan
kehendak Allah SWT, Maha Pencipta (al-Khaliq) segala sesuatu di jagad raya ini,
termasuk didalamnya manusia sebagai makhluk.
Dan Aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (51:57). Allah telah menetapkan tujuan
hidup manusia yakni mengabdi (beribadah)
kepada-Nya, mengenal-Nya dan menyembah-Nya. Totalitas pengabdian
kepada Allah SWT untuk meraih kecintaan Ilahi serta menjadikan diri kita
sebagai miliki Allah SWT. Kehadiran manusia di dunia ini bukan atas kehendak
pribadi melain dia hanyalah makhluk (hasil ciptaan) Maha Pencipta. Allah SWT
menganugrahkan kemampuan yang cemerlang dan lebih tinggi dari makhluk-makhluk
lainnya sebagai sarana mencapai kebahagiaan hidupnya dan meraih tujuan hidup
baginya. Dalam konteks totalitas pengabdian (beribadah) kepada Allah SWT
mempunyai dua dimensi, yakni dimensi ke-Tuhan-an (habluminnallah) dan dimensi kemanusiaan (habluminannas).
Pertama, dalam dimensi ke-Tuhan-an persyaratan
pokoknya adalah mengenal Allah SWT,
tanpa mengenal secara hakiki maka tidak terhubung tali spiritualitas dirinya
dengan Allah SWT. Sehingga pernyataan inna
shalati wannusuki wamahyaya wamamati lilahi robbul’alamin yang bermakna
bahwa ibadah shalatnya, pengorbanan dan perjalanan kehidupannya serta akhir
kematiannya semata-mata diperuntukkan hanya kepada Tuhan Penguasa Alam Semesta
menjadi hambar. Karena mengenal Allah SWT yang sebenarnya akan membangun kesadaran akan hak dan posisi antara manusia sebagai makhluk dan al-Khaliq Sang
Maha Pencipta. Pengejawantahan sikap ini akan tercermin dari perilaku
manusia yang mengenal batas-batas otoritasnya, manusia tidak mengakuisisi
otoritas Tuhan, manusia tidak memaksakan kehendak bagi manusia lainnya, seperti: Tidak ada paksaan dalam
agama; sesungguhnya jalan benar itu nyata bedanya dengan jalan kesesatan.
Karena itu barangsiapa yang menolak jalan kesesatan dan beriman kepada Allah,
maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan
putus. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui (2:257). Manusia yang mengenal Tuhannya secara
benar maka ia tidak akan melepas hubungan itu, karena dengan kasih sayang-Nya,
Allah SWT juga menghendaki agar manusia dengan segenap kemampuannya secara
terus menerus menyembah, mentaati dan mencintai-Nya (30:31). Itulah sebabnya
sang Maha Kuasa, Maha Mulia, Maha Kasih dan Maha Sayang menganugrahkan kepada
manusia suatu kemampuan untuk dipergunakannya dalam mencapai tujuan hidup yang
ditetapkan Allah SWT dalam meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Selanjutnya,
mengenal Allah SWT secara hakiki akan menumbuhkan pemahaman dan pengetahuan karena apa yang difirmankan-Nya tidak
bertentangan dengan apa yang dilaksanakan-Nya (sunnatullah). Sebuah tamzil yang indah dipahamkan kepada kita
sebagai berikut: Hanya Allah-lah yang
Hakiki yang pantas dimintai do’a, yang berkuasa atas tiap sesuatu. Dan mereka
yang berseru kepada berhala-berhala selain Allah, berhala-berhala tak
sedikitpun dapat menjawab. Keadaan mereka seperti orang yang membukakan kedua
telapak tangannya ke air, lalu berkata: “hai air datanglah ke mulutku” apakah
air itu datang ke mulutnya? Sekali-kali tidak! Jadi barang siapa tidak mengenal
Tuhan Yang Hakiki, segala do’a mereka menjadi sia-sia. (13:15). Allah SWT
telah membimbing manusia untuk menelaah secara mendalam terhadap
firman-firman-Nya dan pekerjaan-Nya yang satu dengan lainnya sama sekali tidak
berseberangan, tetapi saling melengkapi untuk dipahami sebagai sarana mencapai
kebahagiaan. Pada saat manusia memasuki alam dunia (dilahirkan) Allah SWT telah
memberinya perlengkapan, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (16:79). Manusia lahir tidak
mengetahui sesuatupun kemudian Allah SWT memberinya kemampuan mendengar dan
mengetahui ilmu pengehatuan (ilmal yakin),
kemudian diberinya kemampuan melihat untuk membuktikkannya (ainal yakin) dan meleburkan diri
merasakan kebenaran hakiki dengan hati (haqul
yakin). Dan itulah sikap syukur manusia yang meningkat dari waktu ke waktu
yang dikehendaki Allah SWT agar ia menjadi manusia yang berubah menuju makrifatullah sebagai manusia yang
beruntung. Sebagaimana dipahami bahwa mereka yang hari ini sama dengan hari
kemarin dikatakan sebagai orang yang merugi, sedangkan mereka yang beruntung
adalah orang yang hari ini lebih baik daripada hari kemarin. Namun sungguh
celaka bagi mereka yang hari ini lebih buruk dari pada hari kemarin. Sudah
barang tentu keadaan celaka bukanlah keadaan yang diharapkan bagi kehidupan
manusia sejati yang baik. Mereka akan terus menerus berusaha untuk melakukan
perbaikkan dalam kehidupan nyata di masyarakat. Dengan demikian makna ‘mengenal Tuhan secara hakiki’ telah
menjadikan manusia lebih menyadari hak
dan keberadaan Tuhan Yang Maha Pencipta dan menumbuhkan manusia lebih memahami dengan ilmu
pengetahuannya tentang hukum-hukum Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Selanjutnya praktek ‘kesadaran’ dan ‘pemahaman’ di atas dalam
kehidupan nyata merupakan wujud rasa syukur manusia terhadap karunia Tuhan yang
telah memampukannya menghadapi tantangan kehidupan. Manusia sejati akan bekerja
tidak saja dengan kekuatan tangannya (hand)
melainkan juga dengan kecerdasan otak dikepalanya (head) dan dengan ketulusan hatinya (heart).
Kedua, dalam dimensi
kemanusiaan (habluminannas) manusia
dituntut untuk selalu membangun tali silaturahim
dalam kehidupan nyata. Silaturahim dapat dimaknai sebagai hubungan baik yang
didasarkan atas Kasih Sayang Tuhan. Allah SWT yang memberi kemurahan begitu melimpah sebagai perwujudan sifat
Rahmaniyyat, Dia memberi bentuk dan
rupa bagi semua makhluk bernyawa, sesuai dengan kondisi dan keperluannya, tidak
terkecuali makhluk manusia. Dia menyediakan semua fasilitas dan kekuatan yang
diperlukan oleh makhluk-Nya sesuai keadaan masing-masing. Semisal, Dia
menciptakan begitu kokoh dan kuat dada seekor burung untuk menghadapi tantangan
angin, burung mengepakkan sayapnya yang kuat untuk terbang jauh bermil-mil,
demikian pula halnya dengan makhluk hidup lainnya. Manusia mendapat perlakuan Rahmaniyyat – kemurahan yang paling banyak dibanding dengan makhluk lainnya.
Dikarenakan demi memenuhi semua keperluan-keperluan manusia, setiap makhluk dan
benda berkorban untuknya, luar biasa, maka bersyukurlah. Dalam penciptaan manusia dan
perkembangannya, Allah SWT memerintahkan agar manusia bertaqwa dan memelihara silaturahim. Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya
Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan Mengawasi kamu.(4:2) Perintah ini mengandung makna yang mendalam yakni ketaqwaan kepada
Allah SWT selalu diikuti oleh membangun dan memelihara silaturahmi dengan
manusia dan ciptaan lainnya. Dengan demikian manusia tidak akan terlepas dari
hubungannya dengan Sang Maha Pencipta sekaligus sebagai dasar dalam membangun
kehidupan nyata di alam fana. Saling memberi kebaikkan, tolong menolong yang
bermanfaat, memelihara keseimbangan alam dan memanfaatkannya. Filosofi Jawa
menyebutnya Hamemayu Hayuning Bawono,
memelihara kecantikan bumi (sarana kehidupan) yang diciptakan Sang Maha Indah dengan
cantik.
Dari kajian di atas dapat disimpulkan
perihal tujuan pokok diciptakannya manusia, yakni semata-mata untuk
melaksanakan totalitas pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Khaliq Allah
SWT. Totalitas pengabdian diimplementasikan pada pengkhidmatan kepada
kemanusiaan yang didasarkan atas keyakinannya akan keberadaan Allah SWT.
Sehingga apa yang dijalankannya akan memberi rahmat kebaikkan bagi manusia
sekelilingnya dan lingkungannya sebagaimana yang Allah SWT kehendaki.
Jalan Mencapai Tujuan Hidup Manusia
Bagaimanakah manusia dapat mencapai tujuan
hidupnya dan bagaimana ikhtiarnya agar tujuan itu tercapai? Inilah pertanyaan
yang penting sehingga prinsip-prinsip yang dikemukakan di atas menjadi dapat
dilaksanakan dengan baik. Dalam buku Filsafat Ajaran Islam (MG Ahmad, 1896) dijelaskan
bagaimana ikhtiar manusia bisa dilakukan, sebagai berikut:
1.
Jalan
perdana adalah mengenal Tuhan secara
hakiki sehingga manusia akan memahami kedudukannya sebagai makhluk dihadapan
Sang Khaliq, Allah SWT. Manusia tidak akan mengambil hak Tuhan tetapi ia menjalan
apa yang diperintahkanNya dan menghindarkan apa yang dilarangNya.
2.
Jalan
kedua adalah mendapat gambaran yang
jelas akan kejuitaan dan keindahan yang sempurna dalam wujud Allah SWT.
Al-Qur’an menarik perhatian orang-orang dengan berkali-kali mengemukakan
kesempurnaan dan keagungan Tuhan, seolah-olah hendak mengatakan ‘lihatlah,
Tuhan seperti itu adalah Wujud yang menarik minat dan bukan wujud yang mati,
lemah, tuna perasaan kasih-sayang dan tuna kuasa’.
3.
Jalan
ketiga adalah mengenal kemurahan Tuhan.
Pendorong dan perangsang yang membangkitkan rasa cinta terdiri dari dua hal,
yakni kecantikan dan kemurahan. ‘Segala
puji bagi Allah semesta alam, Yang Maha Pemurah, Maha Penyayang, yang mempunyai
Hari Pembalasan’ (1:2-4).
4.
Jalan
keempat untuk mencapai tujuan sebenarnya adalah do’a, sebagaimana firman-Nya ‘Berdo’alah
dan Aku akan mengabulkan do’amu’ (40:61). Berulang kali Tuhan menarik minat
manusia untuk berdo’a supaya mereka mencapai tujuan bukan karena kekuatan
sendiri, melainkan dengan pertolongan Allah SWT.
5.
Jalan
kelima adalah mujahidah (semangat
joang), yakni mencari kedekatan Tuhan (qurb ilahi) melalui pengorbanan harta
benda, menyerahkan segenap kemampuan, mengorbankan jiwa dan mengerahkan segenap
kecakapan pada jalan Allah SWT. Saripati firman Allah ‘belanjakan harta bendamu, jiwa ragamu, berikut segenap kemampuanmu pada
jalan Allah’ (9:41); ‘apapun yang
kami anugrahkan kepada mereka berupa kecakapan, ilmu pengetahuan, keahlian dan
lainya, semuanya diserahkan mereka pada jalan Allah’ (2:4); ‘barang siapa berjoang dengan berbagai cara
pada jalan Kami, maka Kami akan menunjukkan jalan Kami kepada mereka’
(9:70).
6.
Jalan
keenam adalah istiqamah (gigih,
tabah, teguh), yakni dalam menempuh usaha orang tidak bosan-bosan, tidak patah
semangat, tidak mengenal lelah dan tidak gentar menghadapi cobaan. Firman-Nya ‘Ya Allah, Tuhan kami, tunjukilah kami jalan
istiqamah, yaitu jalan yang di atasnya diperoleh nikmat-nikmat dan kemuliaan
yang Engkau meridhainya’ (1:6-7).
7.
Jalan
ketujuh adalah bergaul dengan
orang-orang saleh, agar dapat belajar dan mencontoh perbuatan kebaikan
sempurna mereka.
8.
Jalan
ke delapan adalah berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh mimpi suci dari Allah SWT. Sebab menempuh jalan menuju
Tuhan akan sangat pelik dan penuh rintangan dan penederitaan. Manusia bisa saja
tersesat dijalan yang tak nampak, dibayangi perasaan putus asa dan enggan
meneruskan jalan lurus itu. Namun Allah SWT dalam sunnah-Nya akan selalu
menghibur para musafir (orang yang terus berjalan menuju kepada-Nya) melalui
firman-Nya dan ilham-Nya, Tuhan memperlihatkan kepada mereka bahwa Dia bersama
mereka.
Melalui jalan inilah seorang Muslim akan
dimampukan Allah SWT untuk mewujudkan dirinya menjadi rahmat bagi dirinya,
keluarganya, masyarakat dan lingkungannya. Hal ini tentu sesuai dengan tujuan
diturunkannya Rasulullah Muhammad SAW bagi umat manusia sebagai rahmatan lil ‘alamin. Love for All
Hatred for None.
Ceramah oleh Ahmad Saifudin
Mutaqi, dalam acara Rekoleksi 50 Tahun PUSKAT, 28 Agustus 2010 bersama Civitas
Akademika (Romo, Pastur, Dosen dan Karyawan) Sekolah Guru Agama Katolik,
Universitas Sanata Dharma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar