Sabtu, 09 Juni 2012

BUNG KARNO TENTANG AHMADIYAH


Suasana politik diawal pembentukkan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak lepas dari pergumulan para pemimpin bangsa antara politik dan  nilai-nilai moral keagamaan. Bung Karno banyak belajar tentang agama Islam dari seniornya Haji Oemar Said Tjokroaminoto yang menterjemahkan Al-Qur’an tasfir singkat karya murid Mirza Ghulam Ahmad. Penghargaan Bung Karno terhadap Ahmadiyah banyak dituangkan dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi. Tulisan dibawah ini adalah sejumlah kutipan dari beberapa sumber yang mengenal baik Presiden Pertama Republik Indonesia.

Pada tanggal 10 Maret 1947, Sayyid Shah Muhammad al Jaelani menerima surat dari Sekretaris Negara yang menyatakan bahwa Paduka Yang Mulia Presiden Sukarno berkenan menerima Muballgih Ahmadiyah itu dan memintanya menghadap di Kepresidenan Yogyakarta pada jam 11.00 pagi tanggal 11 Maret 1947. Pada kesempatan itu Sayyid Shah Ahmad Jaelani telah mempersembahkan sebuah buku Ahmadiyyat of the true Islam kepada Presiden Republik Indonesia yang pertama itu. Lebih lanjut
Muballigh Ahmadiyah itu menceritakan pertemuannya dengan Presiden Sukarno: "Tuan akan berbicara dalam bahasa apa ?", demikian Bapak Presiden Sukarno membuka percakapan setelah kami bersalaman.
"Dalam bahasa persatuan bangsa Indonesia", jawab saya. Atas jawaban itu nampak benar beliau sangat tereksan dan muka beliau berseri-seri. Waktu saya menyerahkan bingkisan kepada beliau saya ucapkan kata-kata demikian: "Kami menghadiahkan kitab ini kepada Bung Karno dengan khidmat dan penuh hormat dengan penghargaan agar Paduka Yang Mulia sudi mempelajari kitab ini. Dikala kena peluru karena isi kitab ini, kami harap Paduka Yang Mulia berani
memproklamirkan keimananan kesuciannya sebagaimana Paduka yang Mulia berani memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. "Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan penuh kesungguhan dan khidmat tapi sederhana itu, beliau tersentak berdiri dari duduknya lalu sambil memegang tangan saya mengucapkan kata-kata, la haula wala quwwata illa billah ...... minta didoakan......minta didoakan’. Kata-kata itu diucapkan dengan berulang-ulang sedang mata beliau tampak berkaca-kaca seakan-akan air mata beliau mau keluar.  Sementara kami minum-minum beliau mengatakan . "Saya sangat gembira dan berterima kasih kepada tuan atas segala bantuan dan perjoangan serta darma bakti pada bangsa kami dan pemerintah didaerah kabupaten Kebumen. Selanjutnya beliau mengatakan , "Ahmadiyah sangat kurang dikenal terutama dikalangan kaum Nasionalis." dan beliau menganjurkan, "Baiklah tuan pindah ke di Yogyakarta saja, supaya kita dapat sering bertemu dan membicarakan soal-soal agama." Saya menjawab: "Saya akan akan istikharah dahulu, setelah itu baru dapat mengambil keputusan ."Setelah melakukan sembahyang istikharah diambillah keputusan untuk pindah ke Yogyakarta sesuai anjuran Bung Karno. Semenjak itu mulailah saya memberikan sumbangan tenaga dan pikiran dalam perjuangan memperthankan kemerdekaan (dikutip dari Majalah Sinar Islam nomor Jubilium , Maret 1976).Untuk pertama kalinya Jemaat Ahmadiyah mengadakan Kongresnya di Jogyakarta pada awal tahun 1947 yang dihadiri oleh beberapa utusan yang ada di pulau Jawa.Konperensi juga memikirkan langkah-langkah yang akan diambil sehubungan dengan pertablighan Jemaat Ahmadiyah.

Pada pertemuan itu juga dibicarakan perintah dari Hazrat Khalifatul Masih II, Imam Jemaat Ahmadiyah agar sermua orang Ahmadi diseluruh dunia membantu perjoangan Republik Indonesia yang pada waktu itu belum mendapat pengakuan dari dunia luar. Status tanah air Indonesia ketika itu masih dipersengketakan dengan Belanda. Hal kedua yang menajdi pokok acara pada pertemuan itu adalah masalah Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Pada konperensi itu telah terpilih R. Hidayath sebagai Ketua Pengurus Besar Jemaat Indonesia didaerah RI dan Ahmad Sarido sebagai Sekretari Jendral dan beberapa anggota Jemaat lainnya seperti Sukri Barmawi dan Suroso Malangjoedo duduk dalam Dewan Komisaris. Dan Badan inilah yang menjadi wadah bagi Jemaat untuk membantu perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia pada masa itu.
Dalam catatan Rachmatullah untuk Redaksi Studi Islam diceritakan sebagai berikut. Pada tanggal 14 Mei 1989, Gerakan Ahmadiyah menerima kunjungan tamu dari AAII USA, Dr. Noman Malik dan Presiden AAII Canada, Mrs. Samina Sahu Khan. Kunjungan tamu dari Amerika dan Canada ini adalah yang pertama kali di Indonesia. Pada waktu ramah tamah bersama dengan Dr. Noman Malik, beliau bercerita bahwa pada suatu waktu, pemerintah Pakistan agak terkejut, heran dan kaget. Dikisahkan oleh Dr. Noman Malik bahwa sebelum kunjungan Presiden Sukarno ke Pakistan, beliau menanyakan, dan ingin bertemu dengan gurunya yakni Mirza Wali Ahmad Baig. Kemudian pemerintah Pakistan dengan kerja keras mencari, siapakah sesungguhnya Mirza Wali Ahmad Baig. Setelah dicari-cari dengan bantuan aparat pemerintah Pakistan, akhirnya Mirza Wali Ahmad Baig ditemukan oleh Badan Intelijen Pakistan. Beliau sedang duduk-duduk di beranda masjid. Mirza Wali Ahmad Baig kemudian dibawa oleh militer Pakistan, dan dia ternyata kemudian termasuk dalam barisan kehormatan penjemput Presiden Sukarno. Pada waktu bertemu dengan Mirza Wali Ahmad Baig, Presiden Sukarno nampak akrab sekali, kemudian sungkem dan sangat hormat serta mengucapkan terima kasih kepada Mirza Wali Ahmad Baig yang telah berkunjung dan pernah beberapa tahun tinggal di Indonesia. Dan kemudian menurut penuturan Mirza Wali Ahmad Baig sendiri, Bung Karno pernah menolong Mirza Wali Ahmad Baig sewaktu dia mendapatkan kesulitan di India. Peristiwanya adalah sebagai berikut.
Dalam kunjungan Presiden Sukarno di India mungkin sekitar tahun enampuluhan, diketahui bahwa Presiden Sukarno akan sembahyang di Masjid Jami di New Delhi. Pada waktu itu Mirza Wali Ahmad Baig sedang mengalami kesulitan untuk mendapatkan visa. Hubungan antara India dan Pakistan sedang sangat tegang, situasinya sangat buruk. Visa untuk kembali ke Pakistan berkali-kali ditolak oleh pemerintah Pakistan, hingga dia sangat frustasi. Begitu Mirza Wali Ahmad Baig mengetahui Bung Karno akan sholat Jumat di Masjid Jami di New Delhi, dia langsung juga melakukan sholat Jumat di Masjid Jami. Setelah sholat Jumat berakhir, segera berusaha mendekat ke Presiden Sukarno bersama dengan kerumunan orang yang ingin menghampiri Presiden Sukarno. Mirza Wali Ahmad Baig berusaha agar mendapatkan perhatian dari Presiden Sukarno dan alhamdulillah Presiden Sukarno kemudian mengenal dan mengingat Mirza Wali Ahmad Baig dan segera beliau menghampirinya. Mirza Wali Ahmad Baig langsung minta bantuan agar dapat diberikan visa untuk kembali ke Pakistan. Segera setelah itu Presiden Sukarno memerintahkan kepada staf Departemen Luar Negeri di India agar menghubungi pejabat Pakistan ( Pakistan High Commision ) bahwa gurunya, yakni Mirza Wali Ahmad Baig agar segera dibantu untuk mendapatkan visa ke Pakistan. Visa berhasil diperoleh, dan akhirnya Mirza Wali Ahmad Baig dapat pulang kembali ke Pakistan.

Pemahaman Soekarno tentang Ahmadiyah dapat dibaca dalam bukunya yang terkenal Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I, halaman 346, berbunyi “Maka oleh karena itulah, walaupun ada beberapa pasal dari Ahmadiyah tidak saya setujui dan malahan saya tolak, misalnyamereka punya “pengeramatan” kepada Mirza Ghulam Ahmad, dan mereka punya kecintaan
kepada imperialisme Inggris, tokh saya merasa wajib berterima kasih atas faedahfaedah dan peneranganpenerangan yang telah saya dapatkan dari mereka punya tulisantulisan yang rationeel, modern, broadminded dan logis itu”. Selanjutnya pandangan Soekarno tentang Ahmadiyah, ia menulis, “Ya,… Ahmadiyah tentu ada cacadnya, dulu pernah saya terangkan di dalam suratkabar Pemandangan apa sebabnya saya tidak mau masuk Ahmadiyah tetapi satu hal adalah nyata sebagai batukarang yang menembus air laut: Ahmadiyah adalah salah satu faktor penting di dalam pembaharuan pengertian Islam di India, dan satu faktor penting pula di dalam propaganda Islam di benua Eropa khususnya, di kalangan kaum intelektuil seluruh dunia umumnya. Buat jasa ini cacad saya tidak bicarakan di sini ia pantas menerima salut penghormatan dan pantas menerima terima kasih. Salut penghormatan dan terima kasih itu, marilah kita ucapkan kepadanya di sini dengan cara yang tulus dan ikhlas” pada halaman 389.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar