Senin, 11 Juni 2012

JADILAH ORANG BERILMU


Para penghuni neraka mengatakan ‘sekiranya kami bijaksana dan mendengarkan dengan seksama keterangan secara tertulis maupun lisan dari para cerdik pandai dan para ahli peneliti serta mengkaji agama dan kepercayaan-kepercayaan secara adil, niscaya hari ini kami tidak akan masuk neraka’ (QS, 69:11). Kesadaran yang datang belakangan akan menjadi penyesalan yang tiada berguna, antara lain disebabkan karena kurangnya ilmu yang dimiliki dan makrifat ilahi yang diperoleh dari Allah SWT. Oleh karena itu, dalam rangka manusia meraih ilmu dan makrifat ilahi, Allah SWT melalui al-Qur’an menetapkan bahwa ilmu terbagi menjadi tiga macam, yakni: Ilmal Yaqin; ‘Ainul Yaqin; Haqqul Yaqin.
Keyakinan seseorang yang berdasarkan ilmu pengetahuannya mengetahui suatu benda tertentu melalui perantaraan adalah Ilmal Yaqin. Sarana atau perantara seperti indera pendengaran dapat memahamkan seseorang untuk mengetahui tentang adanya sesuatu. Mungkin saja ia akan ragu-ragu ketika mendengarkan yang pertama kali tetapi kemudian ia menjadi yakin ketika ia telah berulang kali mendengarnya. Ilmu pada dasarnya adalah sesuatu yang memberikan pengetahuan yang pasti. Manakala seseorang dalam penjelajahannya mendapatkan sejumlah keterangan yang saling bertentangan satu dengan lainnya, maka tidaklah mungkin orang tersebut memperoleh pengetahuan yang pasti. Hal ini mengisyaratkan bahwa al-Qur’an sebagai kitab sumber ilmu memberi kepastian bahwa tidak ada satu hurufpun yang mempunyai makna saling bertentangan satu dengan lainnya. Justru sebaliknya tafsir terhadap sebuah firman Allah SWT akan dijelaskan oleh firman lainnya di dalam Al-Qur’an, namun bukan oleh kepongahan nafsu manusia yang asor (dhaif). Dengan demikian sarana lain seseorang memperoleh ilmu adalah membaca Kitabullah al-Qur’an al-Syarif. Dalil-dalil yang masuk akal akan menjelaskan kepada manusia tentang akidah tanpa adanya kekerasan dan paksaan. Hal ini dikarenakan pada prinsipnya dalam diri manusia telah tertanam fitrat sejak semula, sebagaimana firmanNya ‘Al-Qur’an yang berberkat ini tidak membawa sesuatu yang baru melainkan mengingatkan kepada apa-apa yang tertanam dalam fitrat manusia dan dalam lembaran hukum alam’ (QS, 21:51).
Agama ini tidak menghendaki supaya manusia menerima sesuatu dengan kekerasan melainkan bagi setiap sesuatu ia menggunakan dalil-dalil. Disamping itu didalam Al-Qur’an terkandung khasiat kerohanian yang mencahayai hati manusia (QS, 2:257). Dalam ayat yang lain dijelaskan bahwa Al-Qur’an dengan khasiatnya menyembuhkan segala penyakit (QS, 10:58). Dengan kata lain bahwa semua penjelasan-penjelasan dan keterangan-keterangan hukum alam dan dari dalil-dalil dalam Al-Qur’an yang disampaikan secara adil tanpa kekerasan dan pemaksaan akan dapat diterima akal sehat secara meyakinkan serta menerangi kegelapan hati dan menyembuhkan penyakit akan membawa manusia mencapai Ilmal Yaqin.
Puncak perolehan Ilmal Yaqin adalah melalui hati nurani manusia yang di dalam bahasa Al-Qur’an disebtnya sebagai fitrat atau naluri. Dalam firmanNya dinyatakan bahwa fitrat Allah yang di atasnya manusia diciptakan (QS, 30:31). Bentuk fitrat manusia adalah Tauhid yakni pengakuan ke-Esa-an Tuhan yang tiada sekutu baginya, tidak dilahirkan dan tidak pula ada noda kematian. Allah SWT yang Maha Pencipta meletakkan nilai khasiat (value) dengan cara halus yang tak terkatakan. Untuk memahaminya akal pikiran manusia harus sepenuhnya tertuju kepada nilai khasiat melalui perasaan hati nurani yang sangat halus. Demikian pula halnya dalam memahami keberadaan Tuhan yang kekuasaanNya menjadi tumpuan bagi segala harapan. Oleh karena itu ilmu yang diperoleh manusia melalui hati nurani termasuk dalam Ilmal Yaqin. Selanjutnya apabila dalam memahami sesuatu sudah tidak lagi diperlukan perantara maka keyakinan demikian adalah ‘Ainul Yaqin. Seperti bagaimana memahami panas dan dingin menggunakan indera kulit permukaan, mengetahui manis dan pahit menggunakan indera lidah dan contoh-contoh lainnya. Dalam kaitannya dengan keberadaan alam ukhrawi, ilmu ketuhanan manusia bisa sampai ‘Ainul Yaqin bilamana telah menerima langsung ilham tanpa perantara, mendengar suara ilahi dengan telinga hatinya, melihat pandangan ghaib (kasyaf) yang terang dan benar dengan matanya sendiri. Tak ayal lagi bahwa untuk memperoleh makrifat ilahi, manusia sangat bergantung pada ilham yang diterimanya tanpa perantara. Hal demikian akan menimbulkan rasa dahaga untuk ingin mencapai ke kesempurnaan makrifat ilahi dalam hati sanubari manusia. Seandainya sejak diciptakan dunia ini, Tuhan tidak menciptakan ‘wahana’ bagi berlabuhnya makrifat ilahi, mengapa perasaan lapar dan dahaga atas pencapaian makrifat itu ada dalam diri manusia? Kemudian apakah kepuasan pencapaian makrifat itu hanya didasarkan oleh kisah-kisah dan hikayat belaka (?) atau hanya mengadalkan buah pikiran akal sehat (?) Hal yang demikian itu hanyalah makrifat yang tidak bermutu lagi tidak sempurna. Kuncinya adalah apabila Allah SWT menghendaki untuk menganugrahkan makrifat ilahi yang sempurna kepada pencari kebenaran, niscaya Dia akan membukakan pintu Mukalimah dan Mukhatibah (Firman dan Wawanwicara dengan Tuhan). Sebagaimana firmanNya ‘Ya Tuhan, tunjukilah jalan istiqomah, yakni jalan orang-orang yang telah Engkau anugrahkan nikmat kepada mereka’ (QS, 1:6,7). Nikmat dapat dimaknai sebagai ilham, kasyaf dan ilmu-ilmu samawi lainnya yang diterima langsung oleh manusia. Barang siapa yang sudah beriman kepada Allah bergigih dalam pendirian mereka, maka malaikat-malaikat turun atas mereka membawa ilham untuk mereka, ‘jangan takut dan bersedih hati’. Bagimu tersedian sorga yang telah dijanjikan kepadamu (QS, 41:31). Selanjutnya Allah SWT berfirman ‘Para pencinta Tuhan menerima kabar suka melalui ilham dan firman Tuhan dalam kehidupan di dunia ini maupun dalam kehidupan ukhrawi kelak (QS, 10:65).
Selanjutnya bagaimana memahami ilham itu sendiri? Dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan ilham bukanlah buah pikiran manusia yang diperoleh dari hasil permenungan yang panjang. Misal: penyair yang menggubah syair indah dan menyentuh hati; novelis yang menuliskan kisah-kisah baik dan indah; bahkan rencana super canggih yang sempurna dalam sebuah konspirasi jahat. Yang dimaksud dengan ilham sejati adalah Kalam hidup lagi perkasa yang digunakan olehNya untuk bertutur-kata kepada hamba pilihanNya atau kepada hamba yang dimuliakanNya. Kalam itu melezatkan, penuh hikmah, penuh wibawa dan kalam semacam itu adalah Kalam Ilahi dan dengan itu Dia berkehendak memberi hiburan kepada hambaNya dan menampakkan DzatNya sendiri kepadanya. Ada kalanya ilham juga berupa ujian, apakah dengan mencicipi sekelumit ilham tersebut dia akan memperlihatkan keadaan dirinya sebagai seorang mulham sejati atau akan tergelincir(?). Dengan gambaran ini para mulham-pun memiliki martabat yang berbeda-beda, bahkan para nabi-pun demikian. Sebagian nabi dilebihkan atas sebagian yang lain (QS, 2:254). Kesimpulannya, bahwa ilham adalah karunia semata dan tidak ada sangkut pautnya dengan kelebihan martabat seseorang. Ilham yang sejati dan suci menampakkan pengalaman-pengalaman rohani manusia pilihanNya. Maka mereka itu hendaknya bersyukur, berkorban dan istighfar, karena sejatinya nikmat semacam itu adalah hanya bagi pewaris para shiddiq. Bernasib baiklah manusia semacam itu yang memperoleh nikmat dariNya karena kecuali itu semuanya tiada berarti. Pribadi yang sudah mencapai martabat dan derajat itu senantiasa terdapat dalam kalangan umat Islam. Dan hanya dalam Islam, Tuhan menghampiri dan bercakap-cakap dengan hambaNya.
Orang yang telah mencapai martabat itu janganlah diremehkan/dikecilkan, tetapi kebalikannya jangan pula ia disembah/dilebih-lebihkan. Pada keadaan martabat semacam itulah Allah SWT memperlihatkan hubungan dengan hamba sedemikian rupa sehingga seakan-akan jubah ke-Tuhan-an telah dikenakan kepadanya. Orang semacam itu menjadi cermin untuk melihat Tuhan. Nabi Besar Muhammad SAW bersabda ‘Barang siapa yang melihat diriku, maka ia telah melihat Tuhan’. Oleh karena itu hanya melalui Rasulullah SAW inilah Allah SWT akan membukakan pintu Mukalamah dan Mukhatabah Ilahi.
Selanjutnya setelah ilmu itu diperoleh melalui kemampuan akal dan hati sanubari, bagaimana mencapai ke kesempurnaan dalam meraih makrifat ilahi? Kendatipun mata melihat, tanpa cahaya ia sama saja dengan buta. Telinga mendengar namun tetap saja membutuhkan udara untuk menyampaikan pesan. Maka Tuhan Yang Mahasempurna dan Mahahidup, adalah Dia yang senantiasa memberitahukan keberadaanNya. Allah SWT berfirman ‘Tuhan-lah yang setiap saat merupakan cahaya langit dan cahaya bumi’ (QS, 24:36). Dia-lah Matahari bagi matahari, Dia-lah Nyawa bagi makhluk bernyawa, Dia-lah Tuhan Sejati yang Mahahidup, berbahagialah mereka yang menerima kehadiranNya. Oleh karena itu jadi jelas kesempurnaan ilmu yang diperoleh melalui sarana ketiga yakni Haqqul Yaqin. Segala penderitaan, kesusahan dan aniya yang menimpa para nabi dan orang-orang shaleh memperlihatkan secara jelas yang tadinya hadir dalam pikiran manusia sebagai ilmu belaka kini menjadi nyata dalam bentuk amalan. Kemudian berangsur-angsur praktek amal-shaleh berkembang menuju ke kesempurnaan (makrifat ilahi). Semua nilai akhlak seperti pemaaf; sabar; kasih-sayang dan lainnya yang tadinya hanya terdapat di otak dan hati sanubari, kini lahir dalam kehidupan keseharian. Manusia memperlihatkan akhlaq mulia yang dengan tubuhnya melaksanakan amal-shaleh dan ke-ikhlasan total sehingga apa yang ia lakukan sesuai kehendakNya. Selanjutnya Allah SWT berfirman ‘Kamu sekalian akan Kami uji dengan ketakutan dan kelaparan dan kerugian harta dan kerugian jiwa dan denga kegagalan usaha dan dengan kematian anak-cucu. Yakni semua penderitaan itu akan menimpamu karena keputusan dan kodrat Tuhan atau karena perbuatan tangan musuh. Kabar suka adalah bagi orang-orang yang dalam tertimpa musibah hanya berkata “kami adalah kepunyaan Allah, dan kepada Dia kami akan kembali”. Bagi merekalah selamat dan rahmat dari Tuhan dan orang-orang itulah yang telah mendapat petunjuk yang sempurna’ (QS, 2:156-158).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar