Kamis, 21 Juni 2012

KEYAKINAN


Adalah Aminah Ayob, seorang profesor neuroscience dari Malaysia yang mengatakan bahwa di dalam diri manusia dewasa terdapat kekuatan yang sangat dahsyat, yaitu, keyakinan (Ayob, 2006). Keyakinan di dalam bahasa Inggris, ’faith’, atau, ’believe’, atau dalam bahasa latin, ’fidere’, adalah sesuatu yang dipercayai seseorang, terlepas apakah hal itu benar atau salah (Webster’s Dictionary, Second Edition). Keyakinan hanya dimiliki oleh makhluk ciptaan Tuhan yang termasuk dalam spesies homo sapien sapiens alias manusia.

Demikian perkasanya sebuah keyakinan di dalam diri manusia sehingga kekuatan dunia sekalipun tidak mampu mengalahkannya. Mengapa demikian? Karena letaknya tersembunyi, yaitu di dalam otak. Hanya dirinyalah yang dapat mengalahkan. Demikianlah fakta yang telah dibuktikan oleh para akhli neuroscience[1]). Al-Qur’an membenarkan hal tersebut sebagaimana dinyatakannya: 

Dan tak seorangpun dapat beriman, kecuali dengan ijin Allah. Dan Dia menimpakan kehinaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. (Surah Yuunus; 10:100).

Kata ’dapat beriman’ menunjukkan proses perubahan diri untuk ’mengalahkan’ keyakinan lama. Perubahan ini memerlukan ’. . . ijin Allah’, terutama setelah manusia  ’. . . . mempergunakan akalnya’. Jadi, keyakinan seseorang memang hanya dapat ’dikalahkan’ oleh dirinya sendiri. Mengenai seberapa cepat atau lambat proses perubahan tersebut tergantung sejauh mana keyakinan lama telah ’mengikat’ dirinya - menjadi sebuah kebiasaan.     

Kebiasaan-kebiasaan yang telah lama disimpan di dalam otak manusia menghasilkan perilaku yang sulit berubah. Dalam peribahasa Sunda sering dikatakan, ’adat kakurung ku iga’. Peribahasa ini merujuk pada seseorang yang karena kebiasaanya sudah demikian mendarah daging sehingga seolah-olah tiada celah untuk berubah. Dalam hal ini tulang iga telah mengurung  adat istiadat seseorang.

Seorang psikolog Amerika Serikat yang sangat terkenal bernama Ellen Kreidmen, dalam ceramah-ceramahnya sering mengemukakan kata-kata, ’adult clings to old habits’. Arti dari kata tersebut kurang lebih, ’orang dewasa telah terikat oleh pengaruh masa lalu yang telah mengakar dan tertanam di dalam benaknya’. Adat, habit (kebiasaan), keyakinan, atau kepercayaan (believe, faith) pada hakekatnya merupakan akumulasi dari reaksi diri terhadap kejadian sehari-hari masa lampau.

Bangsa Barat mengenal pepatah kuno untuk diamalkan dalam kehidupan mereka sehari-hari - Dorothy Law Nolte. Preambul Dorothy Law Nolte berjudul,  ’Children learn what they live, artinya, anak belajar dari yang mereka alami.

Sebagai contoh, ketika seorang anak hidup dengan penuh toleransi pada masa kecilnya maka ia akan tumbuh menjadi seorang manusia yang sabar. Sebaliknya, jika seorang anak dibesarkan dengan pola hidup penuh kekerasan maka ia akan terbentuk menjadi manusia pemarah. Dalam posisi seperti itu, si anak belajar merekam memori, menimbang emosi dan menggapai motivasi sesuai dengan apa yang ia dapatkan. Ketiganya diperoleh di lingkungan rumah, melalui pendidikan orang tuanya, maupun pengaruh lingkungan yang lebih besar. Ketiganya disimpan di dalam bagian otak tengah yang disebut limbic system (Gazzaniga, 2002). Paul Broca, seorang ilmuwan Perancis menamakannya sebagai grand lobe limbique. Limbic system bersama bagian otak yang lain serupa dengan central processing unit (CPU) dari sebuah komputer.

Central processing unit seorang manusia bukan berada di dalam jantung atau hati sebagaimana dipercayai sebagian besar manusia sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Bagi pembaca yang saat ini telah berumur setengah abad atau lebih tentu masih ingat dengan syair-syair lagu duet yang dibawakan oleh Titik Sandhora dan Muhsin Alatas pada tahun 70’an sebagai berikut.

Titik Sandhora: “Aku belum percaya abang sayang padaku”.

Muhsin Alatas: “Ambil sebilah pisau belah saja dadaku”.

Muhsin Alatas ingin menunjukkan kepada Titik Sandhora betapa keras detak jantungnya, yang dalam bahasa puisi merupakan bukti betapa besar memori, emosi dan motivasi cintanya kepadanya. Namun, apakah ungkapan tersebut benar? Benarkah pusat perasaan cinta seseorang terletak di jantung? Bagaimana jika terjadi sesuatu hal terhadap dirinya dan ia harus mengalami transplantasi jantung? Jika sang donor seorang keturunan India atau Uganda yang tidak mengenal kekasihnya, masih samakah perasaan cintanya kepadanya? Bagaimana pula jika dewi penolong yang ‘merelakan’ jantungnya adalah seekor binatang mamalia? Bagaimana pula jika para ilmuwan dapat menciptakan jantung buatan dari plastik? Hilangkah cintanya kepada sang idola? Tentunya tidak demikian. Jantung siapapun dan bahan apapun yang dicangkokkan sepanjang dapat berfungsi dengan baik di tubuh Muhsin Alatas maka perasaan cintanya terhadap Titik Sandhora tidak akan berubah - selama limbic systemnya tidak diganti.

Limbic system atau disingkat limbic, dalam bahasa populer dikenal sebagai old mammalian brain atau paleopallium atau intermediate brain, yaitu otak yang terdapat juga pada binatang bertulang belakang dan menyusui – mamalia. Mamalia dan manusia pada prinsipnya memiliki banyak kesamaan, khususnya dalam hal otak yang satu ini. Jika kedua spesies yang berbeda tersebut memiliki persamaan sedemikian rupa, lalu, ’apakah yang membedakan mereka’? Pertanyaan ini dijawab oleh seorang ahli filsafat bangsa Jerman yang bernama Ludwig Andreas Feuerbach (1804 – 1872).

Filsuf yang sering dijuluki ’sang atheis yang humanis’ oleh Gereja Katolik ini menyatakan, bahwa, ’perbedaan yang sangat esensial antara manusia dan binatang terletak pada kenyataan bahwa manusia dapat berpikir tentang ketuhanan (beragama) sedangkan binatang tidak’. Manusia juga memiliki kesadaran (consciousness) untuk menilai sesuatu hal sehingga mampu menghasilkan pengetahuan secara sistematik yang disebut sains (baca the Essence of Christianity, salah satu karya tulisnya yang diterbitkan pada tahun 1841).    

Di dalam buku the Essence of Christianity, Feuerbach mempertanyakan beberapa keyakinan Kristen yang menurutnya bertentangan dengan logika, akal sehat, dan sains. Diantara keyakinan pokok yang dipermasalahkan misalnya tentang ketuhanan Jesus a.s, konsep Trinitas dan ketuhanan Maryam, kisah-kisah mukjizat, kebangkitan Jesus a.s dari kematian di tiang salib, dan lainnya.

Feuerbach berpendapat bahwa intisari agama Kristen yang diajarkan di dalam Bible, khususnya tentang ketuhanan Jesus a.s bertentangan dengan sifat-sifat Tuhan yang bebas dari kelemahan dan tidak mungkin mengalami kematian. Padahal, Jesus a.s adalah anak seorang manusia biasa yang mengalami kesakitan, kesedihan, dan kematian.

Demikian juga dengan konsep Trinitas yang tidak pernah diajarkan oleh Jesus a.s sama sekali tidak memiliki metode pembenaran yang jelas. Hingga hari ini belum ada seorang pimpinan gereja sekalipun yang mampu memberikan jawaban jelas, masuk akal dan dapat membuktikan, mekanisme ‘three in one’ – satu Tuhan dalam tiga bentuk. ‘Doktrin gereja di atas hanyalah sebuah keyakinan bukan kebenaran’, menurutnya. Feuerbach menginginkan sebuah keyakinan yang didukung oleh kebenaran hakiki, tidak sekedar memori yang disimpan di dalam limbic dan belum pasti kebenarannya.

Limbic hewan mamalia maupun manusia memiliki alat penerima (receptor) emosi dan memori, yaitu hypothalamus dan hyppocampus (lihat Gambar 2 di bawah). Kedua alat penerima tersebut memiliki kemampuan menyimpan sebagian besar pengalaman setiap individu yang dirasakannya melalui panca indranya atau pengalaman lainnya seperti mendapatkan mimpi, halusinasi, ilham atau wahyu.

Bagaimana limbic binatang mamalia berfungsi dapat diilustrasikan sebagai berikut. Seekor induk anjing menemukan seonggok daging di tempat yang ia lalui. Penglihatannya mengirimkan signal ke sel-sel otak tengahnya yang kemudian merangsang seluruh bagian sel tubuhnya untuk segera mendekat dan menyantap daging tersebut. Anak-anak anjing akan mengikuti tindakan induknya. Anak-anak anjing belajar dari pengalaman tersebut dan menyimpannya ke dalam pusat memori yang terletak di dalam limbic.

Ketika sang induk anjing sedang menggerogoti daging tersebut dengan enaknya tiba-tiba datanglah seekor anjing lainnya. Dalam sekejap salah satu bagian di dalam limbic induk anjing yang bernama amygdala tidak difungsikan. Sang induk anjing mengeram dan menggonggong. Amygdala adalah pusat rasa takut,  pengendali agresi, emosi dan respons terhadap pertahanan (defensive respons). Pusat inilah yang mempengaruhi sang induk anjing untuk menimbang apakah akan mempertahankan seonggok daging tersebut atau karena ketakutan lalu meninggalkannya? Instink sang induk anjing membuat keputusan berdasarkan penampilan fisik lawan dan menyampaikannya ke amygdala. Apapun keputusan yang diambil oleh induk anjing menjadi sebuah ’kebenaran’ bagi anak-anaknya. Pada keadaan semacam itulah anak-anak anjing belajar keberanian atau ketakutan dari induknya. Dalam dunia binatang, hanya kekuatan fisik yang menjadi tolok ukur ’kebenaran’.

Manusia pra sejarah yang belum mengenal peradaban cenderung bertindak seperti binatang. Apabila mereka menemui makanan di jalan yang dilaluinya maka limbic yang ada di dalam kepalanya akan memerintahkan untuk mengambilnya. Tindakan yang dilakukannya bukanlah sebuah kesalahan atau dosa. Demikian juga ketika manusia lainnya datang untuk merebut makanan tersebut maka pusat pengendali agresinya akan mempertimbangkan untuk mempertahankan dengan kekerasan atau mengalah dengan mempertimbangkan kekuatan fisik lawan yang akan dihadapinya. Jika ia memutuskan untuk melawan atau lari (takut) maka pengalaman tersebut disimpan di dalam limbic nya dan kemudian dijadikan keyakinannya bahwa itulah kebenaran hidup. Itulah kebenaran versi manusia yang belum mengenal peradaban.

Pusat pengendali agresi manusia sama dengan binatang mamalia yaitu pusat yang secara naluriah merupakan kendali pertahanan keyakinan yang sudah tertanam di dalam benaknya. Sebagaimana binatang yang menjadikan kekuatan fisik menjadi tolok ukur ’kebenaran’, maka kebanyakan manusia primitif menjadikan kekuatan fisik sebagai satu-satunya tolok ukur kebenaran. Manusia modern, karena mereka memiliki limbic maka naluri pertama yang muncul adalah mempertimbangkan kekuatan fisik sebagai patokan benar atau salah. Namun, dengan berubahnya peradaban manusia maka ada kekuatan lain yang juga dipertimbangkan, yaitu harta kekayaan dan kekuasaan - sebagai standar ’kebenaran’.

Manusia adalah makhluk setengah binatang. Keunikan makhluk semacam ini terletak pada limbic-nya. Pada saat organ ini dapat dikendalikan seseorang akan menjadi manusia seutuhnya, sebaliknya, ketika otak tengah ini menjadi demikian dominan maka mereka akan bersifat sebagaimana layaknya binatang. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika sebagian manusia modern yang hidup di abad ke 21, khususnya yang hidup di negara-negara miskin dan terbelakang seperti Indonesia, masih mengandalkan naluri hewaniah terutama ketika mempertahankan sesuatu yang dirasakan menjadi miliknya – termasuk keyakinan. Tindak kekerasan atas nama agama (Islam) oleh sekelompok organisasi massa terhadap kelompok lainnya merupakan contoh tindakan primitif yang masih tersisa di Indonesia. Padahal, Islam adalah ajaran yang sangat rasional - bukan ajaran primitif.

Referensi:
Agama Yang Membebaskan, Impulse, Jogjakarta, 2010.
Ditulis Oleh: DR. Soekmana Soma.


[1] ) Baca Gazzaniga, 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar